Mean masih terjaga. Kegelapan menyelimuti seluruh bagian kamarnya. Ia terduduk membisu di permukaan ranjang, menatap hampa di dalam kegelapan. Hanya ia dan Tuhan yang tahu bagaimana jam kewarasan di dalam otaknya berhenti berdentang. Masih sangat jelas bagaimana pucatnya wajah Plan ketika ia memaksa untuk mengungkungi tubuh mungil itu dan mendesaknya ke arah pintu hingga semua obat yang digenggam Plan berjatuhan di permukaan lantai. Masih dapat ia rasakan bagaimana gemetarnya tubuh Plan ketika otak tumpulnya tidak memedulikan apapun, lalu dengan kurang ajar mencium paksa adik dari ibu tirinya itu.
"Ya, Pray Kulsingh. Dia yang akan memerankan peran utama wanita di series terbarumu nanti. Kau belum tahu?"
Sial! Nama sial! Hanya mendengar nama wanita itu keluar dari bibir teman Plan saja, hati Mean seolah di tusuk paksa di antara keramaian klub malam beberapa jam tadi.
"Ngomong-ngomong, dia masih kekasihmu, kan?"
Ya, sempurna. Dan tusukan pada hatinya semakin dalam hingga membuatnya berdarah-darah, seolah pisau yang menusuknya sengaja diputar kencang supaya hatinya hancur lebur. Belum lagi ketika Plan pergi berlalu untuk menemui gadis itu, meninggalkan dirinya sendirian di tempat asing tanpa mengatakan apapun, hanya melepaskan genggaman tangan mereka begitu saja yang membuatnya merasa seperti anak anjing kotor yang bulunya telah basah karena kehujanan lalu dibuang. Rasa sakitnya tidak tertahankan. Pada detik yang sama ia baru menyadari bahwa ia sudah terjatuh terlalu dalam, tidak ada lagi jalan untuk naik ke permukaan. Ia sudah terlalu jauh menyukai Plan, mencintainya dalam definisi yang tidak wajar.
Masih terekam jelas di dalam otaknya bagaimana lutut Plan melemas ketika ia melesakkan lidah agar mampu meraih apapun yang berada di dalam gemetar bibir tipis itu, dan menyadari bahwa Plan terus menerus mendorong dadanya dan hampir menangis. Keterlaluan. Ia sudah terlalu jauh. Ia terlalu berani hanya karena ingin Plan memahami apa yang ia rasakan, dan ya, ia di tolak. Jantungnya di remas dan ia merasa seolah kini berada di ambang batas sebuah peperangan yang amat membahayakan nyawa, namun sengaja menenggelamkan diri di dalamnya agar mati. Ia masih belum tahu, setelah semua ini, apa yang harus ia lakukan? Ia yakin bahwa Plan pasti akan membencinya.
***
Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, hari ini Mean telah keluar dari kamarnya pada pukul lima. Kalau mau jujur, ia belum tidur sama sekali. Rumah masih sepi. Lampu-lampu bahkan masih belum menyala, namun pintu kamar Plan terbuka. Meskipun agak ragu, Mean melangkah ke arah sana. Dalam pencahayaan remang-remang, ia dapat melihat bahwa tidak ada Plan di manapun bagian dari kamar itu. Mungkinkah Plan pergi pagi-pagi sekali untuk melakukan shooting? Atau justru malah menghindar setelah insiden tadi malam?
Pikiran itu menyedot udara dari paru-paru Mean, membuatnya tercekik. Lidahnya kelu seolah ada debu di sana dan jari-jarinya membeku entah karena kalut ataukah memang karena udara dingin? Entah.
Mean menggerakkan tangan ke wajah, mengeluarkan beberapa erangan. Keinginannya yang terbesar saat ini adalah menemui Plan untuk meminta maaf. Ia ingin memperbaiki kesalahan apapun yang sudah terjadi dan berjanji untuk menjadi anak baik. Memikirkan hal itu, dunia yang nyata dan damai seolah akan terbentuk di sekelilingnya. Semua kekacau-balauan yang memporak-porandakan perasaannya dia analogikan sebagai kumpulan perabotan rusak yang harus disingkirkan. Meskipun ia sadar bahwa satu suara -dari hatinya, membentuk sebuah ritme tak putus, menyerukan sebuah nama berulang-ulang, Rathavit Kijworalak. Untuk sesaat tadi, ia merasa sanggup berpikir untuk mengabaikan suara hatinya itu, namun seiring detik jam yang berputar, entah mengapa ia yakin bahwa ia gagal.
***
Ini mulai tidak benar. Sudah delapan puluh dua jam, dan Plan belum juga pulang ke rumah. Perth yang berisik mengatakan bahwa Plan sudah mulai melakukan shooting dan menceritakan kalau mungkin saja Plan akan terjebak pada kisah cinta lama dengan Pray, yang membuat telinganya panas dan juga kesal. Apalagi Perth memuji penampilan Pray yang semakin cantik dengan mati-matian. Padahal ini baru kali pertama mereka bertemu kembali di markas setelah tanggal tiga puluh satu sore itu. Sial sekali karena hanya ada ia dan Perth di tempat ini. Keparatlah Mark dan Gun!
KAMU SEDANG MEMBACA
A B I E N C E
FanfictionPaman Plan? Yang benar saja. Sampai matipun Mean tidak akan pernah mau mengakui Plan sebagai pamannya! Tidak pantas, dan tidak bisa diterima. Dan meskipun Plan berusaha keras hidup dengan memegang teguh pada norma-norma yang ada, toh ia tidak mam...