"Hah? Mengapa harus aku? Aku tidak mau!" Plan mendelik dengan intonasi naik beberapa oktaf meskipun terdengar seperti suara radio yang disetel pada frekwensi kurang sesuai karena ia baru saja bangun tidur.
"Ayolah Plan ... Aku dan Porsche harus pergi pagi-pagi sekali dan keponakanmu itu belum genap tujuh belas. Dia belum boleh menyetir. Setidaknya bantu aku sedikit saja, hmm?"
"Aku bisa membantu banyak tapi tidak dengan yang satu ini. Aku telah berusaha berkenalan dengannya tapi dia tidak membuatku nyaman." Plan bersikukuh menolak.
Ayuka membuang napas lelah sambil menggaruk tengkuk. Pagi yang cukup rumit untuk hari awal mereka tinggal bersama kembali dengan keluarga baru seperti Porsche dan Mean. Mungkin ini adalah periode adaptasi yang mau tidak mau memang harus terjadi dan mereka lalui. Plan cukup jarang melakukan hal seperti ini, -menentangnya karena alasan sepele yang belum mampu ia mengerti.
"Plan, sekali ini saja, oke? Dia hanya Mean!"
"Justru karena dia Mean. Pokoknya aku tidak mau!"
Ayuka menyerah dan ia berhenti membujuk adiknya yang keras kepala. "Turunlah dari ranjangmu dan mandi. Aku akan mengatakan pada Porsche kalau kau tidak bisa membantu mengantarkan Mean ke sekolahnya hari ini. Sarapan sepuluh menit lagi, kami menunggu di bawah," ucapnya lantas berlalu begitu saja dari kamar Plan sambil membawa keranjang baju kotor milik adiknya keluar.
Plan menggerutu.
"Mood-ku jadi rusak di hari sepagi ini," sungutnya sembari meraih sandal beludru di bawah ranjang dengan jempol kaki -menggeliatkan tubuhnya ke kanan-kiri dan menguap hingga matanya berair.
Sebenarnya hari ini adalah hari libur. Tadi malam ia masih sempat mengecek seluruh notifikasi di ponselnya dan P'Pupae memberitahu bahwa ia tidak memiliki jadwal apapun untuk hari ini -mengartikan bahwa sesungguhnya ia bisa saja mengantarkan Mean ke sekolah, hanya saja ia tidak mau. Mengingat bocah itu membuat harga dirinya sedikit terusik. Ia agak sakit hati karena tidak diperlakukan baik. Bahkan Mean tidak menghormatinya sebagai pihak yang lebih tua di antara mereka. Jadi tidak aneh kan kalau ia kesal?
'Paman? Are you kidding me?'
Oh, mengingat ucapan Mean tadi malam saja sudah membuatnya ingin marah, apalagi kalau ia mengingat-ingat bagaimana ekspresi keponakannya itu ketika ia mengatakannya, -seperti mengejek.
"Menyebalkan," sungutnya , lantas menenggelamkan kepalanya ke dalam bathup.
***
Plan masih sempat memakai lensa kontak dan meraih botol parfum lalu menyemprotkan agak banyak ke tubuhnya, sebelum ia keluar dari kamar menuju lantai bawah. Ketika ia muncul dari ambang ruang makan, tiga pasang mata langsung mengarah padanya termasuk sepasang milik bocah remaja yang menatap padanya dengan ekspresi serius -menganggu.
"Pagi."
"Pagi, phi."
Plan melemparkan senyum dan memberi 'wai' pada Porsche yang selalu ramah menyapanya dengan sopan kapanpun mereka bertatap muka. Ia jadi bertanya-tanya dalam hati mengapa Mean tidak mewarisi karakter ayahnya ini?
"Bagaimana pengalaman tidurmu yang pertama kali di dalam rumah kami?" lagi-lagi Porsche bertanya, mencoba membuat mereka lebih akrab.
"Luar biasa. Aku belum pernah tidur senyenyak ini sebelumnya," Plan menyahut tepat saat bokongnya menyentuh permukaan kursi, persis di sebelah kanan dari tempat di mana Mean duduk.
"Aku senang jika kau betah tinggal di sini," kata Porsche sambil menyodorkan selai ke hadapan Plan, sementara Ayuka tampak sibuk mengoles selai cokelat untuk Mean.
KAMU SEDANG MEMBACA
A B I E N C E
FanficPaman Plan? Yang benar saja. Sampai matipun Mean tidak akan pernah mau mengakui Plan sebagai pamannya! Tidak pantas, dan tidak bisa diterima. Dan meskipun Plan berusaha keras hidup dengan memegang teguh pada norma-norma yang ada, toh ia tidak mam...