Rasanya tidak perlu dijelaskan lagi mengapa jalanan tampak begitu ramai jika tanggal satu Januari telah tiba. Bukan hanya warga Bangkok saja, bahkan seluruh penjuru dunia pasti akan merasakan betapa meriahnya hari ini tanpa terkecuali Plan. Di tengah hiruk pikuknya lautan manusia, Plan berjalan meliuk-liuk dengan topi dan masker ketat yang melindungi area kepala dan wajahnya. Dalam genggaman tangannya, terdapat sebuah tangan lain yang sejak tadi menahannya melangkah terutama apabila mereka melewati para penjaja dim sum pinggir jalan, hingga ia mendecak dan melotot beberapa kali untuk memaksa bocah besar itu kembali mengikuti langkahnya, bahkan menyeretnya paksa jika ia merasa hal itu memang perlu.
"Belikan dulu, Plan. Aku lapar."
"Tapi sudah mau hujan, Mean. Kau tidak lihat langitnya sudah gelap?"
Mean mengerang jengkel ketika Plan lagi-lagi memaksanya melangkah –menyeret –namun kali ini ia ngotot bertahan pada posisinya. "Beli dulu!" ia memerintah.
Plan mendesis sebal, namun ia tidak punya pilihan. Jika memang mengeluarkan dompet adalah cara tercepat untuk membuat mereka cepat sampai di mobil sebelum hujan jatuh menimpa permukaan bumi, maka hal itulah yang akan ia lakukan saat ini. Ia tidak protes saat Mean merampas dompetnya untuk membayar, dan menyentakkan kaki dengan gusar karena penjaja dim sum di hadapannya begitu lamban mengemas.
Tepat setelah pesanan Mean selesai, hujan berlomba-lomba jatuh di kepala mereka. Tanpa berpikir panjang, Plan mencengkram erat tangan Mean dan menariknya berlari-lari menuju mobilnya yang terparkir di jalanan paling pojok.
"Mengapa hujan terus turun setiap hari? Menyebalkan sekali!" Plan bersungut setelah ia membuka masker dan topinya, menyalakan mesin mobil dan bergegas pergi dari tempat itu. Sedangkan di sampingnya, alih-alih meminta maaf karena membuang-buang waktu hingga mereka kehujanan, Mean malah asyik mengunyah dim sum hangat di tangannya dalam suapan besar sampai pipinya menggembung lucu.
"Enak?" tanya Plan. Raut wajah kesalnya tidak ia sembunyikan meskipun intonasinya biasa saja. Ia menggeleng tak percaya ketika bocah di sebelahnya hanya mengangguk tanpa rasa bersalah.
"Membeli dengan uangku, dan tidak mengucapkan terima kasih sama sekali. Good boy." Plan menyindir.
Mean memutar bola mata. "Thanks," ucapnya tak jelas karena mulutnya penuh.
"Hanya thanks?"
Mean membuang napas bosan. "Cerewet!" sungutnya, lalu ia memasukkan sepotong besar dim sum ke mulut Plan dengan paksa sebelum pamannya itu protes lebih jauh. "Maaf telah membuatmu kehujanan. Puas?"
Plan tertawa dan mengangguk tanpa mengucapkan apapun lagi. Ia hanya fokus menyetir sambil mengunyah, sesekali melirik pada Mean.
Kemarin mereka sempat berada di dalam situasi tak menyenangkan, hampir seperti perang dingin, tepat setelah ia memerintahkan agar Mean berhenti menatapnya dengan tatapan yang tak ia sukai sore itu. Malam harinya, setiap ia bertemu muka dengan bocah itu di ruang tengah atau di ruang manapun di dalam rumah, Mean akan otomatis memandangnya seolah berkata "apa maumu?" meskipun keponakannya itu diam saja. Bahkan aksi diamnya sepertinya akan berlanjut sampai pagi.
Namun itu adalah awal leluconnya.
Plan tidak tahu kalau ia dan Mean akan berbaikan secepat hitungan jam. Ia tidak berniat keluar dari kamarnya jika saja tak mendengar suara-suara aneh yang berasal dari arah dapur di tengah malam yang sunyi. Awalnya ia berniat akan ikut diam oleh aksi diam yang dilakukan oleh Mean, namun ia mendadak ingin tertawa saat mendapati keponakannya itu tengah sibuk berkutat di dapur dalam kebingungan karena ia kelaparan pada dini hari. Mungkin Mean gengsi memintanya memasakkan sesuatu. Karena merasa kasihan, ia mengambil alih dan menyuruh Mean menunggunya memasak makanan untuk bayi besar itu. Meski malamnya Mean tidak mengatakan apa-apa, namun pagi tadi ia telah bangun dengan wajah cerah. Bahkan memaksa ikut saat Plan berencana berjalan-jalan di sekitar kota untuk mengusir kebosanan di libur panjangnya kali ini sekalian melihat-lihat suasana tahun baru. Dan mereka berbaikan begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
A B I E N C E
FanfictionPaman Plan? Yang benar saja. Sampai matipun Mean tidak akan pernah mau mengakui Plan sebagai pamannya! Tidak pantas, dan tidak bisa diterima. Dan meskipun Plan berusaha keras hidup dengan memegang teguh pada norma-norma yang ada, toh ia tidak mam...