Chapter 15
Sejak kejadian naas di sekolah kemarin, Virgo terus mengurung diri di kamar. Bahkan hari ini, dia bolos sekolah dengan alasan tangannya masih terasa sangat sakit.
Semalam Sacha sudah puas diomelin mamanya karena kecerobohannya yang membuat orang lain celaka itu. Sacha sadar, dia memang salah dan pantas diomelin. Seharusnya bukan hanya mamanya yang mengomelinya, namun juga orang tua Virgo. Tapi karena kebaikan hati mereka, Tante Laras dan Om Haris memaklumi kejadian ini dan menganggap ini hanyalah sebuah kecelakaan.
Pulang sekolah hari ini, Sacha membawakan sekotak donat sebagai penebusan rasa bersalahnya kepada Virgo. Sacha benar-benar merasa nggak enak hati karena insiden ini membuat cowok itu gagal mengikuti turnamen futsal yang kata Billy adalah salah satu ajang yang cukup penting untuk Virgo.
Sacha mengetuk pintu kamar yang ditempeli poster bergambar logo sepakbola favorit pemiliknya itu. Setelah tiga kali ketukan, pintu pun dibuka dari dalam.
Wajah kusut Virgo menyembul dari balik pintu. Pandangan Sacha terjatuh pada lengan Virgo yang masih di gips dan tanpa sadar cewek itu meringis kecil.
"Ngapain?" tanya Virgo singkat.
"Gue beli donat. Mau nggak?" Sacha mengangkat sekotak donat di tangannya. Sacha tahu, ini super aneh dan awkward, seumur-umur mana pernah Sacha bertingkah sok manis dan perhatian begini sama Virgo.
Virgo yang menyadari kejanggalan sikap Sacha, menaikkan sebelah alisnya.
Sacha segera menambahi, "Ini enak, lho. Sumpah! Gue beliin karena inget dari kemarin lo pasti nahan sakit di tangan lo."
Virgo keluar dari kamarnya dan menutup pintu di belakangnya. "Ini permintaan maaf?" tanya cowok setelah ia berdiri sejajar dengan Sacha.
"Hm, bisa dibilang, gitu," Sacha tersenyum canggung.
Virgo berjalan begitu saja melewati Sacha menuju sofa di depan kamar mereka. Setelah duduk di sofa empuk itu, Virgo kembali bersuara tanpa menoleh ke arah Sacha yang sibuk memperhatikan gerak-geriknya. "Sini!" perintah cowok itu datar.
Sacha menyusul Virgo duduk di sofa. Cowok itu tampak menyapukan pandangannya ke sekeliling sofa dan meja. Mencari remote televisi. Sacha yang peka, langsung ikutan mencari remote dan setelah menemukannya, Sacha langsung menghidupkan layar LED itu.
"Lo seriusan minta maaf pake donat?" tanya Virgo lagi sambil menatap sekilas sekotak donat yang merek-nya cukup terkenal itu sebelum akhirnya tatapannya kembali ke arah Sacha.
"Lo nggak suka donat?" Sacha balik bertanya.
"Lo kira tangan gue cuma senilai donat?"
"Eh," Sacha gelagapan. "Nggak gitu. Jangan diliat harganya dong, liat ketulusannya," jawab Sacha. Kalau dalam situasi normal, najis banget dia ngomong kayak begini sama Virgo.
"Gue udah berkorban tangan, lo balas sama tangan juga dong," ucap Virgo dengan senyum miring.
"Maksudnya? Lo mau gue patah tangan juga, gitu?" Sacha berdelik tak terima.
"Ya, menurut lo aja, gimana."
"Menurut gue itu nggak logis. Masa gue harus matahin tangan juga biar lo maafin gue. Ogah banget!"
"Lah, kok ngegas? Gue jadi meragukan nilai ketulusan lo dalam minta maaf."
"Gue tulus! Gue beneran merasa bersalah dan mau minta maaf. Tapi nggak gitu juga cara penebusan dosanya."
Virgo tersenyum lagi. "Lo kok bego banget, sih? nggak mungkin juga gue minta lo patahin tangan. Toh kalau lo patah tangan, nggak bikin gue sembuh juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Super Big Match
JugendliteraturBertemu kembali setelah empat tahun perpisahan itu bukanlah perkara yang menyenangkan, setidaknya itulah yang ada dalam benak Sacha ketika dia kembali bertemu dengan Virgo begitupun sebaliknya. Andai saja Virgo itu nggak serba sok dan nggak pand...