Malam itu hujan turun dengan begitu derasnya. Suara gemuruh dibarengi petir yang berkilat-kilat menjadi musik pengiring sabtu malam di kota Seoul yang tidak pernah tidur di penghujung bulan Juni.
Di malam yang sama ketika Jimin mengamati seorang gadis yang tengah memeluk erat tas besarnya dari balik kaca sebuah minimarket. Sesekali atensinya beralih pada segelas Americano yang asapnya masih mengepul di atas meja, ragu apakah dirinya harus merelakan tubuhnya ikut basah akibat terpaan hujan demi memberi segelas kopi atau cokelat panas mengikuti rasa ibanya, atau memilih bersikap seperti orang kota kebanyakan; tidak peduli dan masa bodoh.
Gadis itu berdiri gelisah di pelataran minimarket dengan sebuah tas besar dipelukan, tak luput juga matanya sesekali memeriksa ponsel pintar digenggamannya dengan raut cemas. Jimin mengira-ngira, apa arti gurat cemas yang begitu kentara tercermin dari mata kucingnya yang gelap itu. Mungkinkah gadis itu baru pertama kali menginjakkan kakinya di kota Seoul yang padat ini dan tengah menunggu kerelaan kerabat untuk menjemputnya di tengah badai. Atau gurat cemas karena tak tau harus melangkah kemana ketika hujan reda nantinya.
Diamatinya gadis itu sekali lagi dengan seksama: rambut hitamnya digelung asal, menyisakan beberapa helai rambut yang dengan bandel melambai-lambai tersapu angin. Wajahnya pucat, tubuh kurus dan bibir tipisnya bergetar. Tangannya berulang kali diusap, berharap jaket tipis yang dikenakannya cukup untuk meredam hawa dingin yang menusuk tulang.
Detik demi detik. Menit demi menit berlalu. Jimin akhirnya memilih untuk bangkit berdiri, membeli segelas cokelat panas, lalu melangkah untuk menghampirinya. Namun saat suara deritan halus pintu kaca yang baru saja ia tarik mengalun, ia tak menemukan seorangpun di pelataran. Gadis itu pergi meninggalkan segelas cokelat panas di genggamannya mengambang di udara.
"Park Jimin! Kau mendengarku?"
Lelaki dengan surai hitam itu tersadar dari lamunannya begitu bahunya ditepuk keras oleh lelaki lain di sebelahnya. Seharusnya mereka berdua tengah menikmati liquor dengan bahagia sebagai tanda kemenanngan sebab kini Jimin dapat menempati posisi Direktur setelah berjuang di rapat pemegang saham yang sangat alot. Namun si 'pemegang kemenangan' justru melamun seperti baru saja kalah perang, membuat Seokjin, orang yang menemaninya saat ini berdecak kesal. "Ya! Kau membuatku terus mengoceh tanpa didengarkan? Apa kau juga akan membuatku kehilangan pekerjaan di hotelmu, Direktur Park?!"
Jimin meringis, jika Seokjin sudah menaikkan suaranya seperti ini, hanya ada dua kemungkinan: pertama, ia sedang berada di mood yang bagus. Kedua, ia berada di mood yang siap memuntahkan sumpah serapah. Dan opsi kedua nampaknya lebih relevan karena lelaki itu terus saja mendengus kesal. "Maaf, Hyung. Tadi kau bicara apa?"
"Ck! Lupakan saja!" Seokjin lalu menuangkan kembali liquor ke dalam gelas kecil dan meminumnya dalam satu kali tegukan. "Apa ada yang mengganggumu, Direktur Park?"
Kali ini giliran Jimin yang mendengus, "berhenti memanggilku seperti itu, Hyung. Aku ini tetap adikmu"
"Jika kenyataanya kau adalah adik yang lahir dari rahim yang sama denganku, aku tidak akan ragu untuk menendangmu dari posisi direktur, Jim"
Jimin terkekeh kecil. Seokjin benar, jika saja ia adalah adik kandung dari Kim Seokjin mungkin ia tidak akan setertekan ini. ia akan dengan rela memberikan posisi itu pada Seokjin, dan Jimin dapat menikmati bermain musik sampai kapanpun ia lelah.
"Apa kau benar baik-baik saja, Park Jimin? Sejak datang kemari kau terus melamun seperti orang bodoh"
Jimin memandang Seokjin ragu. Haruskan ia tanyakan perihal apa yang dilihatnya tadi siang pada Seokjin? Meskipun ia yakin bahwa gadis yang ia lihat siang tadi adalah gadis yang sama dengan dua hari lalu. Namun logikanya terus menyangkal, kenapa dia harus peduli pada gadis entah siapa itu. dan kenapa otaknya terus saja memikirkan kejadian di malam hujan itu?!
Jimin menegak liquor langsung dari botolnya dan membuat Seokjin terheran. "Wah..wah, aku semakin yakin ada yang tidak beres denganmu. Apa ketua Shin mengancammu lagi?"
Jimin menggeleng, "Hyung..." panggilnya.
Jimin menyerah, lebih baik ia tanyakan saja dari pada malam ini ia tidak bisa tidur nyenyak padahal besok adalah hari pengangkatannya. Ini bukan masalah besar bukan? Jimin hanya perlu mengetahui namanya dan setelah itu ia tidak perlu memikirkannya lagi.
"Hyung... perempuan yang tadi kau marahi, siapa namanya?"
Seokjin menyerngit, terheran oleh pertanyaan random yang tidak biasanya lelaki itu tanyakan. "Perempuan yang mana?"
"Yang tadi kau marahi di lorong menuju ruang rapat. Perempuan dengan rambut hitam di kuncir kuda" jelas Jimin. Seokjin mengerutkan keningnya mengigat-ngingat. Hari ini ia banyak memarahi pegawai, namun seingatnya hanya ada satu perempuan dengan ciri-ciri yang Jimin sebutkan yang terkena semprotnya hari ini, "Oh, dia pegawai baru. Baru bekerja hari ini. Tadi dia menumpahkan kopi milik pelanggan VIP jadi aku memarahinya. Ck! Aku harusnya memecatnya, tapi karena wajah polosnya aku tid—"
"Hyung, aku menanyakan namanya. Bukan alasan kau memarahinya tadi"
Kali ini Seokjin menatap Jimin curiga, "Kenapa kau sangat ingin tahu?"
"Cukup beritahu saja namanya, Hyung!"
"Namanya..." Seokjin sengaja menggantung kalimatnya untuk meilhat reaksi Jimin dengan wajah memerah akibat pengaruh alkohol dan menahan kesal, "aku tidak tahu namanya"
"WHAT?!!"
"Bagaimana kau tidak tahu namanya, Hyung. Jelas-jelas dia bekerja di dapurmu, bagaimana kau tidak tahu nama pegawaimu sendiri?" Jimin mendengus kesal.
"Ya! Secara teknis dia juga pegawaimu. Lagipula, aku tadi sibuk mengurusi buffet makan siang untuk rapat pemegang saham, aku tidak sempat menanyakan siapa namanya. Dan juga, kenapa kau penasaran sekali sih dengan gadis itu? "
"Ah, kau tidak perlu tahu!"
Hari berikutnya, saat sebuah pesan singkat dari Seokjin masuk ke ponselnya. Jimin tidak dapat menahan diri untuk tidak tersenyum lebar di tengah-tengah jamuan makan siang. Pesan itu sangat sederhana, hanya berisi sebuah nama. Namun entah mengapa dapat membuat jantung lelaki itu berdetak tak karuan.
Kang Seulgi. namanya adalah Kang Seulgi.
Nama yang di kemudian hari terus di gumamkannya dan membuat Seokjin muak tiap kali mendengarnya. Namun yang lebih membingungkan bagi Seokjin, kenapa ia mau-mau saja saat Jimin memintanya untuk memperhatikan gadis itu diam-diam dan mengirimkan kabar kepadanya. Seulgi sedang cuti, Seulgi tiap hari pulang naik bus, Seulgi yang mabuk di makan malam team, Seulgi yang begini, Seulgi yang begitu. Wah, rasa-rasanya Seokjin sudah pantas untuk mendapat gelar seorang detektif.
"Ya! Park Jimin, sudah hampir dua tahun aku bermain detektif bayaran untukmu, beberapa bulan lagi bahkan aku akan menikah dengan Joohyun. Aku tidak mau nantinya istriku cemburu karena aku lebih sering berkirim pesan denganmu. Apa kau tidak mau mengambil langkah sekarang?
Dekati Kang Seulgi sekarang atau tidak sama sekali"
Jimin ingin. Sangat ingin. Anggaplah Jimin seorang pengecut. Lelaki pengecut yang bahkan tidak berani untuk sekedar menyapa gadis yang disukainya.
Tapi Jimin adalah orang yang egois, dan ia sangat sadar itu. Ia takut jika ketamakannya hanya akan menyakiti Seulgi. Ia takut jika Seulgi justru akan berlari menjauhinya jika tahu bahwa ia hanyalah bajingan brengsek yang diam-diam membuntutinya tiap ia pulang setelah bekerja. Jimin takut jika ia tidak akan mampu memberikan kebebasan pada gadis itu. Karena begitu gadis itu berada dalam genggamannya, Jimin tak akan membiarkannya pergi.
Namun laki-laki itu akhirnya mengangguk.
"Bagaimana aku harus mendekatinya, Hyung?"
Seokjin tersenyum, "Nah, bagaimana jika dia bekerja denganmu?"
To be continued........
KAMU SEDANG MEMBACA
Attention || Seulmin
FanfictionA [ Kang Seulgi × Park Jimin] story. Bagi Seulgi, berlari adalah sebagian dari masa kecilnya, hidupnya. Ia suka ketika dentuman keras suara senapan untuk memulai pertandingan terdengar. Ia suka ketika kaki-kaki kecilnya perpacu di lintasan. Dan yan...