Ada yang tidak pernah hilang dari diri seorang Kang Seulgi sejak belasan tahun silam. Traumanya. Mimpi buruknya. Dan bekas luka jahitan sepanjang seputuh senti di lutut kanannya.Tidak peduli sejauh apa gadis itu berusaha untuk melupakannya. Luka tak kasat mata itu akan selalu membekas dalam benaknya. Menggerogotinya perlahan-lahan hingga membuat Seulgi tidak berdaya.
Dulu, dulu sekali saat Seulgi masih mengenyam pendidikan SMA, dan Jungkook yang baru memasuki jenjang menengah pertama. Hari-hari Kang Seulgi dipenuhi kegembiraan yang akan membuatnya tersenyum saat tidur. Ibu yang selalu menemaninya berlatih berlari, Ayah yang selalu menuruti kemauannya ketika ia berhasil memenangkan perlombaan, Jungkook yang selalu merengek meminta dibelikan susu pisang, dan teman-teman masa SMAnya yang menjulukinya gadis emas.
Masa-masa itu begitu membahagiakan hingga membuat Seulgi lupa akan hakikat takdir. Usia yang baru menginjak angka ke tujuh belas membuat Seulgi tak pernah ambil pusing soal realitas yang selalu jadi momok menakutkan bagi orang dewasa.
Hingga ketika tinggal menghitung bulan sebelum kelulusannya, kecelakaan itu datang merenggut nyawa sang Ibu. Membuatnya begitu tertampar oleh kenyataan yang ternyata bisa begitu menyakitnya.
Saat itu bulan Agustus. Tengah hujan badai saat mobil yang Seulgi dan Ibunya tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan kota Gyeonggi-do. Mereka dikejar waktu, hanya tersisa setengah jam lagi waktu keberangkatan pesawat yang akan membawa Seulgi ke Jepang lepas landas. Sementara jarak yang harus mereka tempuh memakan waktu setidaknya satu jam lebih dalam keadaan normal.
Kang Seulgi hanya mampu mencengkram erat seatbelt yang melilit tubuhnya. Ia sudah memohon pada sang ibu untuk memelankan laju pancuan mobilnya, berpasrah jika ia memang tidak sedang beruntung untuk berangkat ke Jepang kali ini. Lagi pula ini bukan pertandingan besar, Seulgi hanya menjadi perwakilan sekolah dan club larinya dalam sebuah ajang olahraga remaja.
Namun sang ibu tetap bersikukuh dengan tujuannya. Yaitu membawa Seulgi secepatnya dengan cara apapun. Salahnya memang yang tidak mengambil libur dan membuat dirinya terlambat mengantar Seulgi. Namun janji tetaplah janji, ia akan menepati ucapannya pada sang anak.
Lalu semuanya terjadi dengan begitu cepat. Seulgi tengah berusaha untuk menahan tangisnya ketika benturan itu terjadi. Mobil yang ditumpanginya dengan sang ibu menghantam pembatas jalan dan nyaris terperosok ke dalam jurang.
Semua terjadi begitu cepat. Tanpa aba-aba. Tanpa jeritan. Tanpa isakan. Yang mampu Seulgi ingat sebelum kegelapan merenggut kesadarannya, adalah sang Ibu yang bersimbah darah.
•••
Sudah lima tahun berlalu, namun kejadian itu masih membekas erat di ingatan Kang Seulgi dan sesekali datang dalam bentuk mimpi buruk. Seperti saat ini, ia terbangun di tengah tidur dengan bercucuran keringat. Matanya sembab karena menangis tanpa sadar.
Seulgi mengusap wajahnya
dengan kasar. Terakhir kali ia bermimpi buruk adalah dua bulan lalu, masih cukup sering memang, namun jauh lebih baik dari pada beberapa tahun silam sebelum ia datang ke Seoul. Seulgi bahkan tidak bisa tidur sendirian dan harus menggenggam tangan Jungkook setiap akan tidur.Maka ketika saat-saat ini terjadi, terbesit keinginan untuk mendengar suara sang adik. Jungkook, meski sikap usilnya selalu membuat Seulgi mengeram marah, tetaplah menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaan tersendiri bagi Seulgi.
Dan Seulgi pun tahu, keduanya telah menjadi obat bagi masing-masing. Kejadian pahit di masa lalu membuat keduanya sama-sama rapuh. Dan mereka hanya memiliki satu sama lain untuk saling bersandar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Attention || Seulmin
FanfictionA [ Kang Seulgi × Park Jimin] story. Bagi Seulgi, berlari adalah sebagian dari masa kecilnya, hidupnya. Ia suka ketika dentuman keras suara senapan untuk memulai pertandingan terdengar. Ia suka ketika kaki-kaki kecilnya perpacu di lintasan. Dan yan...