Mozaik 14

29 7 0
                                    

Hidupnya memang menyedihkan. Tak percaya? Perhatikan saja ciptaan tuhan terindah itu. Mata sendu yang selalu membuatnya tampak sedih itu terlihat begitu janggal di parasnya yang indah bak putri raja. Bukankah ia lebih mirip Cinderella? sayangnya kasusnya berbeda. Matanya memandang kesucian sang rembulan dilembaran malam dengan penuh arti. Betapa indahnya bintang bintang yang menggantung dalam sebuah formasi, senantiasa menemani rembulan. Terkadang ia berharap cahaya suci rembulan tiba tiba menariknya langsung ke Nirwana. Melepas segala derita, tenang dengan segala keagungan yang pencipta, dan tak lagi takut akan warna suara. Tak bisakah ia melukis garis taqdirnya sendiri?.

"Najma!," Saarah memanggilnya dari balik pintu. "Kau akan turun atau makan malam dikamar?,"

"Aku akan turun," Najma tersenyum, beranjak dari sofa yang ditempati sejak satu jam lalu lantas turun ke lantai dasar bebrsama Saarah.

Jujur kepalanya masih pening,tapi ini lebih baik dari pada harus menemi Arya secara pribadi. Arya pasti akan menanyainya banyak hal setelah kejadian tadi.

"Maaf pa,"Ujar Najma sedikit membungkuk memberi hormat. Itu adat eropa, Justine yang mengajarinya. ya... meskipun Justine sendiri tak pernah menerapkannya.

Arya terkekeh sebentar."Duduklah! kenapa harus meminta maaf?" Arya memang mengagumi gadis yang baru saja meminta maaf padanya.

"Aku terlalu banyak melamun," sekedar alasan kenapa ia telat, Najma lantas duduk di kursinya.

"Apa kau butuh konseling?-,"

"Tidak ada yang butuh konseling,"

Najma terkejut. Baru saja ia ingin menjawab pertanyaan Arya, tapi suara berat dengan warna biru itu melintas di pandangannya. tidak salah lagi, itu pasti milik Chandra. benar benar penuh penekanan. Semua terdiam dan tak ada yang berani bicara bahkan menghela nafas sekalipun.

"Bukankah kau hanya melamun?," Sekali lagi Chandra berucap dingin penuh penekanan. Najma tahu itu ditujukan untuk Najma meski pandangannya kosong ke depan sana. Satu lagi, Najma baru paham kenapa tak ada yang berani menengadah. Semua tertunduk kecuali Justine, Najma, dan Arya. Itu karena pshyco itu memengang gagang garpu dengan cekatan di tangan kirinya. Menyeramkan.

"ehm," Arya mencoba menengahi."Chandra... mari makan," perintahnya lembut.

Chandra melirik Arya sekilas tanpa ekspresi. Seakan akan tak bernyawa, dan Arya bukanlah papanya. Tak ada kata lagi yang keluar dari mulutnya. Ia mulai menyantap makan malamnya dengan tenang seakan tidak ada yang terjadi. Yang lain ikut memmulai makan malam mereka. Selalu terjadi saat makan. Pendengaran Chandra terlalu sensitive saat mendengar apapun yang terkait dengan masalalunya.

Baru kali ini Najma berani menengadahkan wajahnya saat semua orang kecuali Arya dan Justine tertunduk karena kemarahan Chandra. Warna biru muda memanglah Khas dari warna suara Chandra. Tapi kai ini, satu keanehan mulai terjadi. Najma tertarik dengan warna suara Chandra yang tak kunjung menghilang malah mengambang di udara bebas. bahkan sampai Najma telah menghabiiskan setengah dari makan malamnya, warna itu tak kunjung hilang. Warna biru muda itu terlalu menarik hingga Najma tak lagi bisa mengendalikan dirinya untuk segera menyentuh warna biru muda di udara bebas. Jemarinya gatal sekali rasanya, tangan kanannya mulai terangkat perlahan berusaha meraih warna suara Chandra yang masih bergelayut di udara. Sedikit lagi... dan...

GRABBB

Najma terlonjak sampai kursinya sedikit bergeser. Semua orang menoleh kearah tangan Najma yang masih terangkat dan disergap kasar oleh Chandra. Masih dengan tatapan dinginnya, Chandra menatap Najma yang balas menatapnya tajam. Najma benar benar kesal dan bosan dengan semua teka teki ini. Ia harus segera menemukan jawabannya. Ia rela menukar nyawanya dengan jawaban dari semua teka teki ini melihat tangan kiri Chandra masih cekatan memegang garpu.

Story Of Symphony - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang