Bandung, 22 juni 2016.
Aleta meminum matcha tea yang baru saja dipesannya ditemani Ulya dihadapannya. Saat ini Aleta sedang berada disebuah cafe didaerah gasibu Bandung. Kebetulan ini malam minggu dan Ulya sedang ada di Bandung. Ya, Ulya memang pindah ke Jakarta setelah lulus kuliah dan sekarang sudah menjadi seorang sekertaris disebuah perusahan swasta.
Suasana cafe malam ini cukup ramai oleh muda mudi yang sedang nongkrong dengan teman ataupun pacar masing-masing.
"Maaf ya Al, aku nggak bisa dateng waktu kamu sama Kak Faiz tunangan. Jatah cuti aku udah abis, terus waktu itu aku lagi di Semarang tugas kantor."
Aleta menatap Ulya dan tersenyum.
"Nggak papa kok Ly, aku ngerti. Lagian kamu nyempetin ke Bandung gini buat ketemu aja aku udah seneng. Sekalian mau ngucapin makasih. toh, biar bagaimanapun kamu yang udah ngenalin aku sama Mas Faiz."
Ulya melipat tangannya diatas meja cafe dan menatap Aleta penasaran.
"Sejujurnya aku tuh penasaran sama kamu Al. Dulu aku yang paling tahu gimana susahnya kamu dideketin laki-laki diangkatan kita. Bahkan nggak dikit yang kode-kode karena suka sama kamu. Tapi kamu selalu menghindar. Eh pas Kak Agam ngenalin kamu sama Kak Faiz kok kamu mau, bahkan jadi deket dan pacaran sampe 4 tahun. Bayangin 4 tahun! itu kalau kita kredit motor bisa dapet 2."
Aleta tertawa menatap Ulya yang mengacungkan 2 jari dihadapannya saat mengucapkan kata dua sambil menggelengkan kepalannya. Lalu dia menghembuskan nafas dan tersenyum menatap gelas matcha tea nya.
"Aku sendiri nggak tahu kenapa kami bisa pacaran Ly. Dulu kenapa aku selalu menghindar dari laki-laki yang selalu kasih kode ke aku. Karena aku nggak nyaman sama laki-laki kaya gitu Ly. Aku nggak pernah nyaman sama laki-laki yang memang sejak awal deketin aku karena memang dia suka dan berniat jadiin aku pacarnya. Karena aku yakin kalau dia deketin aku karena faktor itu, sejak awal pasti yang dia perlihatkan ke aku adalah yang baik-baik. Jadi bukan diri mereka yang sesungguhnya.
Tapi waktu Kak Agam ngenalin aku sama Mas Faiz itu murni perkenalan sebagai teman. Nggak ada niat sedikitpun kami berpikir bakal berakhir jadi pacar bahkan tunangan. Kami dekat pun sewajarnya seorang teman, nggak ada rasa harus jaga image. Sikap kami benar-benar sebagai seorang teman biasa sampai mungkin karena itu rasa nyaman dan terbiasa yang buat kami berpikir untuk buat hubungan yang awalnya cuma teman jadi pacaran. Walau sebenarnya aku nggak begitu mempermasalahkan sebuah status."
"Terus kalian tunangan kemarin apa karena kesepakatan kalian? atau cuma dari inisiatif Kak Faiz?"
"Aku bahkan nggak kepikiran sebuah pertunangan atau lamaran Ly. Semua atas niat Mas Faiz sendiri. kalau dibilang inisiatif mungkin kesannya terlalu spontan dan mendadak. Karena aku sih merasa Mas Faiz udah memikirkan ini matang-matang sebelum menyampaikan niatnya sama aku."
"Terus rencananya kapan kalian nikah?"
Aleta menaikkan kedua pundaknya tanda tidak tahu dan yang dibalas Ulya dengan menaikkan salah satu alisnya.
"Kami belum ada rencana kesana. Mas Faiz bilang dia belum bisa nikahin aku dalam waktu dekat. Kamu tahu kan, biaya nikah sekarang nggak murah. Aku sih santai aja, karena aku nggak pengin menuntut apa-apa. Kalau jodoh pasti dikasih kemudahan."
"Amiin. Eh tapi Kak Faiz itu cemburuan nggak sih?"
Aleta membuka ponselnya dan menunjukkan chat terakhir Faiz yang dikirimkan padanya.
from: Mas Faiz❤️
"Al, nanti kalau udah pulang dari cafe kabari Mas yah. Jangan mampir-mampir. Jangan mau diajak ngobrol sama orang asing apa lagi laki-laki.
Mas nggak bisa jemput karena harus nganter mamah. hati-hati dijalan,
miss you sayang.❤️"Ulya menatap chat Faiz dengan mata berkedip-kedip kaget. Karena yang Ulya kenal Faiz adalah laki-laki yang jarang bicara. Walau sesekali masih suka bergurau tapi dia benar-benar tidak menyangka Faiz bisa seprotektif dan semanis itu pada sahabatnya, Aleta.
"Ya ampun. Ini beneran Kak Faiz yang pendiam itu? Kok bisa sweet gini Al? nggak nyangka aku beneran."
"Mas Faiz itu cerewet banget kalau aku nggak pergi bareng dia. Khawatirnya berlebihan banget. Padahal dia tahu aku pergi sama siapa dan kemana tapi selalu aja nggak tenang."
"Tapi bukannya bagus Al, itu berarti Kak Faiz perhatian sama kamu."
Aleta tersenyum tipis menatap Ulya.
"Nggak semua perempuan suka dikasih perhatian semacam ini Ly, karena ada beberapa yang memandang perhatian semacam ini justru sebagai bentuk kecurigaan secara halus. Ada juga yang merasa kita seperti dikekang dan nggak dipercaya. Merasa ruang gerak kita dibatasi, yang berakhir kita jadi males untuk pergi kemana-mana karena terlalu cape untuk menjelaskan kepasangan kita."
"Jadi kamu merasa perhatian Kak Faiz sebagai bentuk sebuah kekangan?"
"Nggak selalu memang, tapi sering kali aku merasa seperti itu. Belum lagi kalau saat aku tiba-tiba pergi sama dia dan aku nggak sengaja ketemu teman laki-laki. Dia bakal minta penjelasan panjang lebar tentang si lelaki itu yang bahkan kita cuma Say hy doang."
"apa kamu udah coba ngomongin ini ke Mas Faiz?"
Aleta menggeleng dan tersenyum tipis.
"Belum. Karena sampe saat ini aku coba mengerti maksud dari sikap dia. Mungkin dia khawatir dan itu adalah bentuk dari kekhawatirannya saat aku pergi tanpa dia. Selama dia nggak melarang aku untuk melakukan apa yang aku mau aku akan coba mengerti."
Ulya mengangguk mengerti dan meminum coffe latte nya.
"Apa selama 4 tahun ini kamu pernah merasa bosan sama Mas Faiz ? Secara 4 tahun, dan yang aku tahu kalian selalu deket nggak pernah berjauhan."
"Bosan pasti ada, tapi biasanya kami selalu jujur untuk minta waktu buat diri sendiri. Dan kalau aku sendiri saat ngerasa bosan sama hubunganku dan Mas Faiz yang aku lakuin mencoba untuk kembali memikirkan bahwa udah banyak waktu yang aku lewatin bareng dia. Dia bukan hanya pacar Ly, Dia kakak, sahabat bahkan ada saat dia bisa seperti Bapak yang kasih aku banyak pelajaran."
Aleta menatap Ulya mencoba memberi gambaran perasaan yang dia rasakan pada Faiz. Seketika Ulya mengangguk tapi kembali beradu pandang pada Aleta seakan ingin menanyakan sesuatu kembali.
"Tapi, andai suatu saat nanti kamu dan Mas Faiz harus berjauhan. Apa kamu sanggup Al?"
-------------------------💓---------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Bertahan Dalam Jarak
Teen FictionPada kenyataannya Jarak bukanlah suatu penghalang, bukan juga alasan dari rapuhnya sebuah hubungan. Jarak hanyalah jeda yang kadang menjadi faktor sebuah kebimbangan. Karena hati yang tak yakin untuk terus bertahan dalam segala bentuk kekhawatiran. ...