Bandung, 29 juni 2016
Sepulangnya dari bekerja Aleta tidak langsung pulang kerumah. Dia memutuskan untuk pergi kedanau dekat kampusnya dulu untuk menyendiri. Sudah dua hari sejak pembicaraannya dengan Faiz, Aleta sengaja menghindar. Entah sudah berapa puluhan pesan yang Aleta terima dari Faiz tapi belum ada yang dia baca satupun. Selama berpacaran dengan Faiz, Aleta memang tidak pernah benar-benar marah bahkan menghindar seperti ini. Dia lebih suka menenangkan diri sesaat lalu menganggap semua seperti tidak terjadi apa-apa. Selalu mencoba tersenyum semarah dan sesakit apapun perasaannya. Tapi untuk saat ini Aleta merasa butuh waktu lebih lama untuk menenangkan dirinya. Untuk mempersiapkan hatinya dalam beberpa hari kedepan sebelum Faiz meninggalkannya.
Bahkan ditengah lamunan Aleta disebuah bangku panjang didepan danau sunyi ini, Aleta merasa harus membiasakan diri untuk sendiri. Mungkin nanti Aleta akan lebih sering datang kesini setelah Faiz pergi. Mungkin juga Aleta harus mencari kesibukan yang lain agar fikirannya tidak terus memikirakan Faiz nanti.
Ponsel Aleta didalam tasnya berbunyi dan dering yang sengaja Aleta pasang untuk panggilan Faiz pun terdengar.
Dering pertama berhenti dan disusul dengan dering kedua dan ketiga. Akhirnya didering ke empat Aleta mengambil ponselnya didalam tas dan menatap layar ponselnya. Disana terdapat sebuah foto yang menunjukan Aleta dan Faiz sedang berada dipelantaran kampus dengan Aleta yang memakai baju wisuda dan Faiz yang memandang Aleta disampingnya.
Aleta ingat foto ini diambil setelah acara wisuda Aleta dan Faiz datang saat itu. Aleta tersenyum tipis menatap foto itu. Sampai akhirnya panggilan itu berhenti dan panggilan selanjutnya masuk dengan nomor yang sama.
Aleta menekan panggilan terima dengan perlahan. Dan menguatkan diri untuk apapun yang nantinya akan mereka bicarakan.
Sambil menatap langit yang mulai menghitam menandakan hari sudah malam Aleta mendengar suara Faiz diseberang sana yang terdengar begitu khawatir.
"Al? hallo Al, kamu dimana ? aku tadi kerumah kamu tapi Ibu bilang kamu belum pulang. Dan saat aku susul kekantor kamu, katanya kamu udah pulang dari dua jam yang lalu. Kamu dimana Al? kalau kamu marah sama aku kita bicarakan ini baik-baik yah jangan seperti ini. Aku khawatir Al."
Hening. Aleta tidak kunjung menjawab dan Faiz makin diliputi kekhawatiran diujung sana. Dan baru saja Faiz hendak bicara tiba-tiba saja Aleta berbicara dengan sangat lirih. Bahkan Faiz hampir tidak bisa mendengar suara Aleta.
"Kenapa kamu harus menyembunyikan ini Mas? Kamu tahu aku terbiasa dengan kehadiran kamu. Aku terbiasa dengan kebersamaan kita. Nggak pernah terfikir sama aku untuk jauh dari kamu. Kamu mungkin akan merasa sikapku ini berlebihan, tapi yang buat aku terlalu kecewa adalah kenapa kamu nggak membicarakan ini sebelumnya sama aku.
Kenapa kamu nggak jujur sejak awal kalau kamu melamar aku karena kamu akan pergi jauh. Setidaknya agar aku bisa mempersiapkan diri sedikit lebih lama untuk melihat kamu pergi.
Aku ini apa untuk kamu Mas? "Diseberang sana, Faiz mencengkram ponsel ditelingannya merasa sangat bersalah pada Aleta. Apalagi saat mendengar nada lelah yang terlampau jelas terdengar.
"Maafin Mas Al."
"Aku sayang kamu Mas, Aku nggak pernah menuntut apapun dari kamu karena aku nggak ingin membebani membebani kamu dengan hal-hal yang mungkin nggak bisa Mas sanggupi. Tapi kalau ini bisa buat Mas bahagia , Aku nggak mungkin menghalangi kan? Aku nggak mungkin melarang kamu kan?"
"Maafkan Mas, Al."
Diujung panggilan sana tanpa Aleta ketahui Faiz menunduk merasa sangat bersalah atas keegoisan yang sudah dia lakukan. Tapi jelas semua tidak dapat diulang kembali apalagi Faiz juga sudah menandatangani kontak kerja di Balikpapan.
"Aku bisa apa selain memaafkan dan mengikhlaskan mas? Ini udah jadi keputusan kamu kan. Aku hanya bisa berharap kamu bisa menjaga kepercayaanku dimanapun nantinya kamu akan melanjutkan hidup mas."
"Al, kamu dimana? Mas mau ketemu kamu. Mas mau menjelaskan banyak hal sama kamu. Kamu kasih tahu kamu dimana yah sayang."
"Sebentar lagi aku akan pulang Mas, kamu nggak perlu datang. Kita bertemu dihari keberangkatan kamu aja yah. Insyaallah aku bakal mengantar Mas pergi. "
"Tapi Al-"
"please Mas. Untuk kali ini biarin aku menenangkan diriku lebih lama."
Aleta menatap kosong pada danau dihadapannya. Langitpun sudah menggelap sepenuhnya tapi perasaan Aleta tidak kunjung membaik.
"Baiklah. Tapi mas mohon jaga diri kamu baik-baik, jangan pulang terlalu malam. Mas akan hubungi kamu kalau kamu sudah sampai dirumah."
Aleta menurunkan ponsel dari telingannya dan menghembuskan nafasnya perlahan. Dia menoleh saat merasakan seseorang duduk disebelahnya.
Aleta menatap waspada pada seorang lelaki dengan kaos biru dan celana jeans duduk disampingnya tanpa izin.
Aleta langsung memasukkan ponselnya kedalam tas dan hendak beranjak saat mendengar suara dari laki-laki tersebut.
"Biasanya orang yang berada disini sampai selarut ini karena sedang ada masalah. Apakah kamu juga begitu?"
Aleta menatap dengan jelas saat laki-laki itu menoleh dan balas menatap Aleta.
Mata hitam pekat itu menatap Aleta dengan lembut. Aleta harus akui jika lelaki itu tampan tapi Aleta langsung tersadar jika Aleta tidak mengenal laki-laki dihadapannya, dia adalah orang asing. Dan Aleta tidak berniat lebih lama disini.
"Aku melihatmu sejak sore tadi disini dan tidak juga beranjak sampai larut seperti ini. Apakah kamu selalu datang kemari setiap ada masalah?"
"Pertama, saya tidak mengenal kamu sampai harus menjawab pertanyaan kamu. Dan kedua saya ada masalah ataupun tidak jelas bukan urusanmu."
Aleta bangkit berdiri dan melangkah pergi dari sana tapi belum juga ada 3 langkah dia berjalan. Dia kembali mendengar kata-kata dari laki-laki dibelakangnya.
"Kadang memang kita harus menyendiri lebih lama untuk memikirkan segalanya. Tapi jangan juga diam terlalu lama saat kita tahu hati kita memberontak ingin didengarkan."
Aleta mendengarnya dengan jelas dan Aleta tidak tahu apa maksud laki-laki itu mengatakannya. Tidak ingin mendengarkan lebih banyak Aleta lebih memilih untuk menjauh dan pulang kerumahnya.
Sedangkan laki-laki yang masih duduk memandang Aleta tersenyum tipis.
"Aku berharap Tuhan berkenan mempertemukan kita kembali."
---------------------💓------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Bertahan Dalam Jarak
Teen FictionPada kenyataannya Jarak bukanlah suatu penghalang, bukan juga alasan dari rapuhnya sebuah hubungan. Jarak hanyalah jeda yang kadang menjadi faktor sebuah kebimbangan. Karena hati yang tak yakin untuk terus bertahan dalam segala bentuk kekhawatiran. ...