Cahaya part 1

16 3 2
                                    

Namaku Cahaya, orang tuaku memberikan nama ini dengan harapan bahwa aku bisa menjadi cahaya. Dan bisa menerangi alam sekitarnya,  suatu nama yang cukup lebay menurutku. Mana mungkin kita yang hanya manusia biasa bisa menjadi Cahaya, apalagi menerangi alam sekitar. Namun begitu mungkin ini hanyalah sebagai kiasan yang diharapkan agar hidup kita ini bisa berguna bagi sesama kalaupun tidak, tidaklah kita menyusahkan orang lain.

Aku dilahirkan dari orang tua yang penuh kepapaan, ayahku hanyalah pemulung barang bekas dan pekerjaan sehari-harinya hanya sebagai pemungut sampah. Ibuku kadang ikut membantu ayah memulung sampah-sampah plastik atau kardus yang bisa kami jual ke pengepul. Aku hanya mengenal ayahku sampai berusia enam tahun, setelah adik  perempuanku lahir. Ayah terkena penyakit paru-paru kronis, mungkin dikarenakan udara yang setiap hari kami hirup tidak pernah bersih. Karena Kami tinggal di bedeng-bedeng kecil tempat pembuangan sampah.

Semenjak ayahku meninggal, ibu menjadi tulang punggung kami. Beliau memungut sampah sambil menggendong adikku yang masih bayi. Bahkan tak segan aku turut membantu ibu dengan membawa karung kecil dan memungut sampah bersamanya. Walau begitu aku bersyukur dalam keadaan penuh dengan kemurangan, aku masih bisa bersekolah yang lokasinya tak jauh dari rumah, bahkan kami bersekolah di tempat terbuka tanpa dinding tanpa atap. Guru-guruku kebanyakan adalah para aktifis dari kampus-kampus. Mereka mengajarkanku membaca, menulis, berhitung , bernyanyi dan berdoa. Bila tiba waktu kami bersekolah. Kami anak-anak pemulung akan sangat senang dan bersemangat untuk belajar. Bagaimana tidak,  para akrifis itu sangat baik,  penuh kasih sayang, dan tak jarang kami diberi hadiah.

Ada kejadian yang menyayat hati, ketika usiaku menginjak delapan tahun, adikku anna, terserang penyakit demam dan tubuhnya menjadi sangat panas, setelah itu kaki adikku menjadi kecil sebelah dan dia menjadi pincang. Ibu menangis meratapi keadaan adikku, seolah dia menyesali takdir dengan kemiskinan yang kami hadapi. Namun,  Anna adikku yang belum mengerti apa-apa tetap ceria seperti anak-anak kecil lainnya. Tetapi,  cobaan tidak berhenti sampai disitu, setahun sejak itu, ibu pergi menyusul ayah. Aku menangis dan bingung tidak tahu harus berbuat àpa dan tak tahu harus kemana. Aku tidak punya siapa-siapa, aku hanya berdua hidup bersama adikku yang pincang.

Namun, orang-orang disekitarku tidak tinggal diam,  terutama kakak-kakak yang mengajarku disekolah,  mereka kemudian membawa aku dan adikku  ke sebuah panti asuhan. Disitulah hidup kami lebih teratur. Dari semenjak bangun tidur pagi, mandi, sarapan, sekolah dan kegiatan lainnya kami telah terjadwal. Dengan begitulah, aku menjadi lebih disiplin.

Aku sangat menyayangi adikku, bagiku dialah satu-satunya orang yang paling aku percaya dan paling aku sayangi. Aku takkan pernah mau dipisahkan dari Anna.
Waktu berlalu dengan cepat. Namun tidak pernah ada yang  mau mengadopsi kami, karena kami tidak pernah mau dipisahkan, maka aku masih tinggal di asrama panti asuhan sampai aku telah berubah menjadi seorang gadis yang cukup dewasa dan cekatan.

Bersambung

CAHAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang