Pengakuan

61 10 16
                                    

Namaku Hana Yumna, mahasiswa tingkat akhir dengan begitu banyak kesibukan kuliah. Tapi bagiku kuliah tetap menyenangkan. Siapa sangka aku yang dulu tak pernah peduli dengan penampilan, setelah masuk perkualiahan malah jadi primadona kampus.

seperti saat ini, banyak yang menatap iri kearahku. Kulit putih, wajah sedikit blasteran, bibir merah muda dan mata yang kata Papa sangat indah itu selalu berhasil menarik perhatian. Terutama para cowok.

Luna, sahabat dekatku bahkan meminta tutorial agar bisa berubah sepertiku. Beberapa kali dia meniru caraku berpakaian tapi dia tetap saja terlihat tomboy. Apalagi cara jalannya yang laki banget itu susah untuk diubah.

"Gue nyerah, Han. Ternyata capek juga jadi cewek beneran. Ribet banget."

Aku tertawa mendengarnya, memangnya selama ini dia bukan cewek beneran?

Saat ini Luna benar-benar kesal.   Wajahnya benar-benar terlihat buruk hari ini. Katanya semalam dia memakai masker wajah yang tidak cocok dikulitnya. Wajahnya memang terlihat sedikit lebih putih, tapi jerawat malah muncul di beberapa bagian. Hasilnya, Luna memaksa memakai make up tebal. Bukannya tambah cantik, dia malah terlihat seperti ondel-ondel? Lucu sekali.

"Jangan ketawa dong, Han. Lo temen gue apa bukan sih?"

"Abisnya muka lo lucu banget. Mirip ondel-ondel keliling."

"Jahat banget sih."

"Maaf, nanti gue benerin make up lo, tenang aja."

"Haruslah, malu banget ini."

"Iya, udah ayok ke kelas. Bahaya kalo ketahuan telat sama dosen."

Luna terlihat pasrah. Dia sudah menjadi pusat perhatian, sama sepertiku. Tapi bedanya, Luna malah ditertawakan.

"Padahal dengan apa adanya diri lo, itu udah cukup sempurna di mata gue, Lun. Lo banyak tingkah sih."

"Iya, gue salah karena ikut-ikutan iri sama lo. Maaf yah, Han." Aku mengangguk mengerti.

Alih-alih langsung masuk kelas, aku malah melihat Caellan. Cepat-cepat aku mengejarnya. Meninggalkan Luna yang sudah siap dengan peringatannya yang selalu sama. Tapi aku akan tetap pura-pura tidak mendengarnya. Caellan jauh lebih menarik.

Cowok jurusan sastra yang tinggal menunggu waktu wisuda itu selalu membuat jantungku berdetak lebih cepat. Auranya sangat memikat hatiku.

"Kebiasaan deh, inget kalo Caellan itu nggak bakal bisa lo raih, Han. Dia udah punya pacar!" teriak Luna yang masih sangat jelas kudengar.

Luna benar, aku tidak mungkin menjadi benalu untuk hubungan Caellan dan pacarnya. Tapi aku juga tidak mau menyesal, satu tahun pura-pura tidak peduli pada orang yang selalu mengobrak-abrik hati itu sangat menyiksa. Aku tidak tahan lagi untuk mengatakan bahwa aku mencintai Caellan.

"Ellan tunggu," ucapku sambil meraih tangannya. Gugup, sangat gugup. tangannku jadi terasa lebih dingin.

Caellan malah mengernyitkan keningnya bingung. Kita memang belum pernah berkenalan secara langsung, hanya aku yang memerhatikannya, hanya aku yang stalking semua akun sosmednya. Caellan adalah penulis Favoritku. Cowok yang sangat memenuhi kriteria ku untuk dijadikan pendamping hidup. Kata-kata yang dia rangkai pada setiap buku yang dia buat sangat membuatku terlena.

Beberapa novelnya sudah ada yang tembus Gramedia. Dari tulisan-tulisannya itu aku semakin kagum dan tidak ingin melepasnya begitu saja.

"Maaf," ucapku gemetar.

Caellan masih diam. Tidak membuka mulutnya sama sekali.

"Aku Hana, mahasiswa jurusan seni budaya. Penggemar tulisan-tulisan kamu, Caellan Gibran Bagaskara. Aku paling suka yang judulnya Senja Bersamamu, Mawar untuk Adinda, Ayah Mengapa Ini terjadi dan satu lagi Aidan dan Nona."

Aku mengabsen semua novelnya yang pernah aku baca. Semuanya memang menjadi favoritku.

"Ouh, oke. Ada apa?" tanyanya Datar. Tapi aku tetap antusias melanjutkan tujuanku menahannya pergi.

"Aku mau buat pengakuan. Sesuatu yang mungkin akan membuat kamu terkejut. Sesuatu yang udah nggak bisa aku umpetin lagi."

"Apa?"

Aku langsung tersenyum, setidaknya Caellan menanggapi. "Aku suka sama kamu," ucapku lalu langsung berbalik badan, takut memerima respon buruk darinya.

Bukannya menjawab, Caellan malah pergi begitu saja. Aku tahu karena mendengar suara langkah kaki di belakangku. Seolah pengakuanku tidak berarti sama sekali. Aku kembali berbalik dan memanggilnya, tapi Caellan tidak peduli. Membuatku mengikutinya tanpa tahu malu.  Caellan semakin mempcepat langkahnya, membuatku yang saat ini memakai hak cukup tinggi tertinggal jauh.

Akhirnya aku berteriak, "Ellan, saya percaya keajaiban itu ada! Seperti novel Aidan dan Nona yang kamu tulis. Berakhir dengan sangat indah dan berkesan."

**

"Gimana?" tanya Luna begitu aku sampai di kantin. Wajahnya sudah bersih tanpa polesan make up sedikit pun. "Gagal lagi, ya?"

"Berhasil, gue udah bilang kalo gue suka sama Ellan."

"Terus?" tanyanya semakin antusias. "Lo ditolak?"

Aku langsung cemberut, Luna ini benar-benar sahabat paling nyebelin. Harusnya dia tidak perlu memperjelas apa yang terjadi.

"Gue ditinggalin."

"Pfttt, gue bilang juga apa, Hana. Caellan itu nggak mungkin berpaling dari ceweknya. Dia itu setia."

"Luna, gue juga nggak mau jadi orang ketiga. Sekarang gue udah lega kok, yang penting Ellan udah tahu perasaan gue. Masalah dia nerima gue atau nggak gue nggak peduli lagi. "

"Kenapa?"

"Perjodohan." Aku menarik napas berat. "Mau atau nggak, gue harus nurut untuk dijodohkan dengan pilihan Papa."

"Lo yakin? Masa depan lo dipertaruhkan kalo gitu. Lo akan hidup sama orang yang bahkan nggak lo kenal sama sekali."

Luna benar, rasanya ingin sekali aku kabur dari rumah. Tapi Papa punya seribu satu cara agar bisa membuat aku kembali. Percuma.

***

Pulang dari kampus aku langsung mengurung diri di kamar. Penolakan Caellan tadi bener-benar membuatku gelisah. Belum lagi keinginan Papa yang tidak bisa aku tolak lagi karena sampai saat ini aku belum menemukan calon pengganti yang aku janjikan.

Aku menatap serius pada langit-langit kamar. Terus memikirkan apa yang harus aku lakukan agar terbebas dari perjodohan yang Papa rencanakan.

Tugas skripsiku juga belum selesai. Sekarang malah bingung sendiri dengan keadaan ini. Kepalaku rasanya akan pecah jika tidak segera menemukan solusi.

"Caellan! Bantu aku ...!"

Aku berteriak. Membuat Papa langsung mengecek kamarku yang ternyata lupa dikunci.

"Kamu kenapa?"

"Eh ... umm. Gak kenapa-napa, Pa. Cuma lagi pusing aja mikirin skripsi."

Papa hanya mengangguk seakan tak bersalah sama sekali. "Gak usah terlalu dipikirin, Han. Harusnya kamu lebih memikirkan persiapan pertunangan kamu nanti."

"Pa, Hana beneran nggak bisa nolak, yah?"

Papa menggeleng. "Kamu sudah setuju. Nanti malam kita kumpul bareng keluarga temen Papa itu. Kamu harus tampil sempurna nanti, oke?"

"Hmm, Hana kan selalu cantik."

"Sempet-sempetnya kamu sombong sama Papa sendiri."

Aku hanya tersenyum tipis. Papa langsung keluar kamar setelah itu. Meninggalkan aku yang kembali depresi. Malas sekali harus berdandan demi bertemu calon tunangan yang sama sekali tidak kukenal itu. Jika saja dia adalah Caellan, aku bersumpah akan sujud syukur saat itu juga. Catat itu.

Next?

Surat Untuk CaellanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang