Getting Worse

3.6K 85 5
                                    

Sasha memandangi bayangan wajahnya sendiri yang terpantul di cermin kamari mandi. Sementara Reed masih tertidur pulas di tempat tidurnya. Sepertinya ia kelelahan sehabis bercinta dengan Sasha tadi pagi, selain itu kesibukannya mengurus pengobatan Sasha memang membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak belakangan ini.

Perlahan tanpa suara Sasha berjingkat untuk buang air kecil dan melakukan ritualnya seperti biasa. Diambilnya alat test pack kecil berbentuk batangan putih itu untuk diteteskan dan diketahui hasilnya.

Sasha menggoyangkan kedua kakinya dengan gelisah. Semenit, dua menit, tiga menit berlalu, lalu ditengoknya kembali test pack itu di tangannya. Masih hanya satu garis merah.

Dibuangnya alat itu ke tempat sampah yang terletak di sisi kloset duduk kamar mandinya. Sasha lantas pergi ke wastafel untuk mencuci mukanya, dibasuhnya wajah polos itu dengan air dingin sampai basah.

Tangan Sasha kini menyentuh pantulan wajahnya sendiri di cermin. Air mata bercampur dengan bekas air keran yang membasahi wajahnya sekarang.

Mendadak emosinya naik kembali yang membuat tangannya mengobrak-abrik benda-benda di atas wastafelnya seperti alat mandi dan make up sehingga jatuh berantakan di bawah sana. Kemudian Sasha pun mulai terisak-isak dan menangis lagi. Membiarkan barang-barang termasuk tumpukan test pack miliknya, berserakan tak beraturan di lantai yang dingin.

***

"Sha! Aduh, lo ngapain sih!"

Dena berteriak panik waktu menemukan Sasha menggenggam gunting di tangannya. Ia merebut gunting itu lalu membuangnya jauh-jauh ke lantai.

"Apaan sih Den, kan gue cuman mau pake buat ini." tanggap Sasha kalem seraya menunjukkan potongan cue card MC untuk press conference besok pagi yang memang mau dirapikannya menggunakan gunting tersebut.

"Udah deh biar gue aja!" ujar Dena masih dengan nada cemas, mengambil alih cue card yang ada di tangan Sasha

Sehabis kejadian di parkiran mobil waktu itu, terlebih lagi waktu Reed mengabarkan kalau Sasha terkena bipolar disorder, Dena memang jadi super perhatian (baca: super parno) padanya. Terutama apabila ada sesuatu yang memungkinkan untuk membahayakan nyawanya.

Sebetulnya Dena tidak seratus persen salah. Waktu memotong kertas-kertas itu dengan gunting, Sasha sempat bengong lama bahkan mulai berpikir yang tidak-tidak lagi. Sempat terlintas di pikirannya untuk menghujamkan gunting ini ke tubuhnya, supaya penderitaan ini bisa hilang bersamaan dengan rasa sakitnya.

Tetapi sekali lagi Sasha berusaha kembali pada akal sehatnya. Begitu tersadar dengan pikiran buruknya, ia cepat-cepat menghapusnya dari kepalanya. Lama-lama Sasha takut dengan dirinya sendiri. Ia sudah lelah dengan semua ini. Sampai kapan ini akan berakhir?

Sayangnya, dokter bilang penyakitnya ini tidak mudah untuk disembuhkan. Butuh penanganan panjang dan rasanya Sasha sudah putus asa saat mendengarnya. Ia lebih banyak membiarkan semua mengalir apa adanya, berbeda dengan Reed yang lebih serius dan bertekad melakukan apapun demi kesembuhan Sasha.

Ia tidak pernah lupa mengingatkan Sasha untuk meminum obatnya dan mengajaknya berkonsultasi rutin ke psikiater yang menanganinya. Walaupun belum ada perubahan apa-apa pada kondisinya, yang justru rasanya kian parah dari hari ke hari.

Dua minggu setelah dokter memvonis dirinya dengan penyakit yang entah darimana datangnya itu, kehidupannya sudah kembali berjalan seperti biasanya. Sasha sudah masuk kantor dan beraktivitas seolah tidak terjadi apa-apa, meskipun ia tahu bahwa segalanya tidak akan sama seperti sebelumnya. Sasha masih sering mengalami depresi dan rasa kegembiraan yang terlalu berlebihan, sampai ia sendiri kewalahan dibuatnya.

Sementara Sasha masih tenggelam dalam pikirannya, Dena sibuk mengetik-ngetik di iphone-nya lalu mengirimkannya pada seseorang.

Hari ini gue nemuin dia hampir nusuk dirinya sendiri pake gunting, Reed. Parah. Ini nggak bisa terus dibiarin.

Ya, Reed memang memonitor Sasha di kantor lewat Dena yang sudah setuju bekerjasama dengannya tanpa sepengetahuan dirinya. Paralel dengan situasi kantor Sasha dan Dena, di saat yang sama Reed sedang berada di ruangan psikiater yang menangani Sasha.

Reed memang sengaja berkonsultasi sendirian dengan psikiater tersebut karena merasa tidak ada kemajuan yang berarti pada kondisinya. Padahal Reed sudah menuruti semua anjuran dokternya, ia tidak tahu bagian mananya yang salah sehingga Sasha tidak kunjung sembuh dari penyakitnya.

Oke, thank's infonya Den. Ini gue lagi sama dokternya Sasha. Nanti gue kabarin lagi ya.

Diketiknya balasan singkat itu sebelum menekan tombol send dan kembali pada penjelasan psikiater Sasha.

"Proses penyembuhan bipolar memang tidak sama dengan penyakit flu atau batuk Pak, karena yang di-treatment ini semua bersumber dari pikiran. Apa Bapak sudah pastikan kalau Ibu meminum semua obatnya?"

"Sudah Dok, setiap hari saya lihat dia minum obat sehabis makan. Setiap berangkat kantor juga udah saya ingetin biar nggak lupa sama obatnya."

Psikiater Sasha mendengarkan Reed secara seksama yang meneruskan ceritanya, "Tapi Sasha masih suka ngalamin episode yang dokter bilang itu pas lagi seneng apa sedih, Dok. Kadang masih kena panic attack juga, malah barusan saya dapat laporan kalo Sasha hampir nusuk dirinya sendiri pake gunting. Saya ngga tahu harus gimana lagi, Dok."

"Pak, yang terpenting dalam pengobatan pasien bipolar adalah support system di sekitarnya juga harus kuat. Saya tahu ini berat buat Bapak, tapi sebagai guardian Ibu Sasha Bapak harus sabar karena saat ini Ibu sangat membutuhkan peran Bapak." psikiater itu membesarkan hatinya, yang membuat Reed mengelus dada. Apa yang dikatakannya benar. Demi Sasha, Reed harus terus menguatkan hatinya.

"Untuk sementara saya berikan dosis tambahan pada obat Ibu ya, Pak. Tolong pastikan ini dihabiskan dan kita akan periksa Ibu kembali di jadwal kontrol minggu depan."

Reed menerima obat yang diresepkan oleh psikiater Sasha tanpa banyak bertanya. Sebetulnya ia tidak tega tubuh Sasha harus dimasuki dengan segala macam obat-obatan, tapi mereka tidak punya pilihan lain.

Entah sejak kapan Reed menjadi sangat perhatian dan peduli pada Sasha seperti ini. Padahal mereka baru mengenal beberapa bulan belakangan. Mereka bahkan tidak pacaran. Hubungan mereka berawal dari saling memanfaatkan untuk tidur bersama sampai Reed harus terlibat di dalam permasalahan Sasha yang sejujurnya juga amat berat bagi dirinya.

Sedikit pun Reed tidak pernah mengeluh. Ia sudah menganggap Sasha sebagai keluarganya apalagi Reed tahu kalau Sasha sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Namun benarkah demikian? Apakah Reed melakukannya hanya karena ia kasihan pada Sasha?

Reed tidak tahu. Tidak ada waktu untuk berpikir untuk itu. Apabila Reed ditanya apakah ia menyayangi Sasha? Sulit baginya untuk berkata tidak. Ia memang menyayangi Sasha. Tapi apakah ia mencintainya? Reed tidak bisa menjawabnya. Yang jelas, ia peduli pada Sasha dan Sasha adalah orang terpenting dalam hidupnya sekarang.

***

Sleeping With Mr. SuperstarWhere stories live. Discover now