LIMA menit yang lalu, awan di atas sana masih menghitam disertai hawa dingin yang mulai merambat. Keadaan lampu merah yang kulihat dari balik tembok kaca KFC ini terlihat lebih lenggang setelah air hujan mulai menyemprot membasahi. Kebanyakan kendaraan beroda empat yang mengisi jalan sekarang sedangkan para pengguna roda dua kulihat mulai memadati toko-toko yang berjejeran di sebrang sana guna melindungi diri dari hujan yang menerpa.
Beberapa ada yang langsung memarkirkan motor di pelantaran parkiran tempat makan ini. Mungkin, mereka ingin makan sembari menunggu hujan, begitu pikirku.
Aku duduk berhadapan dengan Doni. Dia ini laki-laki yang telah kupacari dua minggu lamanya dan ia berusia lima tahun lebih tua dariku. Kalau kemarin-kemarin aku betah dengan satu pacar sekarang aku menambah pacar lagi, selain Doni. Aku tidak mau menyebutkan namanya karena sekarang aku sedang bersama Doni. Takut-takut kalau aku tiba-tiba salah memanggil karena kepikiran dengan pacar keduaku.
Serius, selain dua orang ini aku berniat menambah satu lagi.
Percayalah, aku benar-benar butuh uang karena keperluanku yang semakin membengkak sebagai pelajar akhir juga Ibuku yang mulai sakit-sakitan. Masalah tersebut yang menjadi pemicu diriku dan Gilang saling beradu mulut kemarin. Kami memang suka beradu mulut dengan berakhir Gilang yang selalu pergi dari rumah setelah Ibu menengahi kami. Tidak hanya itu, Gilang juga tidak tanggung-tanggung melayangkan tangannya kalau-kalau ia sudah tidak tahan.
Aku kesal, benar-benar kesal melihat Gilang yang selalu enak-enakkan tanpa mau membantuku dan Ibu. Dia laki-laki, harusnya bisa diandalkan sebagai tulang punggung keluarga, bukannya ikut menambah beban. Namun, sebelum kami benar-benar saling beradu Gilang sempat membahas tentang cewek yang ia gebet sedari SMA.
Ya, Ayra.
"Gimana sama Ayra? Ada yang deketin, gak?"
Jujur, aku terhenyak saat pertanyaan tersebut dilambungkan padaku semalam. Aku yang sedang melipat bajuku terdiam sebentar, memikirkan, bahwa Kakak dan orang kusukai menyukai orang yang sama. Oke, aku menambah kesalahan besar, yaitu mengakui Gilang Arya sebagai 'Kakak'.
"Tanya aja orangnya langsung, kenapa nanya ke gue?"
"Kan, lo temen sekolahnya, gimana sih?"
"Temen sekolah, lo pikir segala urusannya musti gue tau, gitu?"
"Iya, gue mikirnya gitu."
"Terserah lo sat, cewek gak butuh modal ganteng doang, attitude dan kerja lo juga dituntut."
So yeah, setelah mengatakan itu adalah Gilang yang tersulut emosi hingga menimbulkan keributan antara kami. Aku memang suka memancing dan aku tidak peduli itu, kuanggap sebagai sindiran keras untuk Gilang agar ia lekas memakai otak warasnya.
Huru-hara orang yang numpang berteduh lebih nikmat kupadangi daripada manusia di depanku. Aku serius. Bukan, bukannya Doni manusia jelek, berwajah tua dengan brewok di mana-mana. No. Selain melihat isi dompetnya, aku juga memilih yang enak dipandang. Doni cukup manis dengan kulit cokelat, hidung mancung juga rambutnya yang dipotong rapi. Namun, percayalah, aku tipe orang yang begitu kentara kalau sudah tidak tertarik dengan seseorang apabila telah suka dengan orang lain.
Iya, aku susah menutupi itu.
"Kamu udah ngantuk?"
"Ah-em, dikit." Kulihat Doni tersenyum sembari mengangguk, ia memilih kembali menatap ponselnya yang katanya ada kerjaan yang mesti ia lihat di sana.
Mataku terpaku saat beberapa motor memasuki pelantaran parkir di tengah derasnya hujan. Mereka memarkirkan motor besar mereka berjejeran setelah itu berlari kecil menuju depan tempat ini agar air hujan tidak terlalu lama mengenai mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alastair Owns Me
Teen Fiction[SUDAH TERBIT DI COCONUTBOOKS, PART TIDAK DIHAPUS] Kebodohan terbesarku adalah membantu dirinya untuk mendapatkan orang yang dia cintai. Dan, kebohongan terbesarku adalah pura-pura baik-baik saja akan semua itu. copyright© 2019