'AOM; 25'

115K 12.8K 2.8K
                                    

Ingin sekali rasanya saat itu kulayangkan kedua sepatuku ke wajah tajam milik Gilang saat mendapat telepon dari rumah sakit, tadi.

Gilang tabrakan dan keadaannya saat itu sedang bersama Ayra. Memakai mobil cewek itu! Catat!

Kedua tungkaiku berjalan cepat melewati koridor rumah sakit yang ramai ini. Jantungku rasanya ingin melompat apalagi setelah mengetahui fakta kalau pergelangan tangan Gilang patah.

Aku benar-benar dibuat mati akal!

Ada banyak hal berat yang akan kuhadapi setelah ini. Percayalah!

Tentang tanggapan kedua orang tua Ayra.

Biaya rumah sakit Gilang.

Dan, bagaimana jika Alastair mengetahui ini?

Rasanya kepalaku mendadak pening. Hingga berjalan pun rasanya lemas. Ribuan beban seakan-akan jatuh dari langit tepat di pundakku. Aku ingin menangis, serius.

Bukan karena menangisi kebodohan Gilang. Namun, dampak yang akan kuterima karena ulahnya.

Tidakkah ia pernah berpikir bahwa selama ini hanya aku yang berjuang sendirian? Tidakkah terlintas dipikirannya bahwa sekarang hanya aku satu-satunya yang akan jadi tamengnya dalam hal seperti ini? Dan tidakkan ia sedikit saja berpikir, bahwa perlakuannya ini benar-benar seakan mencekik leherku.

Pening, aku memilih duduk di sebuah kursi panjang yang kebetulan hanya ditempati dua orang.

Demi apa pun, aku benar-benar ingin menangis di tempat ini.

Tidak ada Ibu, tidak ada Bapak, juga saudaraku yang lain. Aku benar-benar sendiri!

Kututup wajahku gusar sembari menahan tangis. Namun tiba-tiba rasanya akar-akar rambutku ingin keluar dari kepalaku.

“Jadi ini saudaranya si Gilang itu.” Aku kaget bercampur rasa sakit yang tidak tertahankan.

Suara ini, aku kenal, sangat kenal.

Mama Ayra.

Aku berusaha melepaskan tarikannya dari rambutku. Karena demi tuhan, aku rasanya ingin mati.

Kuyakini orang-orang yang sedari tadi sibuk dengan urusannya pasti terusik dengan kejadian ini. “Maaf, Tante. Tolong lepaskan rambut saya.”

Kurasakan beberapa dari Ibu-ibu penghuni rumah sakit mencoba menarik wanita yang tengah menyiksaku dengan gila-gilaan ini. “Kamu tau? Saudaramu itu hampir aja buat anak saya mati! Kalau saudara kamu yang mati saya gak ada masalah! Tapi jangan sampai anak saya! Kamu tau?” Ia meracau dan aku masih terus merapalkan kata maaf.

Beberapa orang mencoba memisahkan wanita ini dariku.

“Tante ....” Aku menangis rasa sakit ini benar-benar membuatku tidak bisa menahannya ditambah tangisanku yang tadi-tadi tertahankan. “Tolong lepaskan saya, saya gak salah."

“Kamu gak salah, tapi saudara kamu itu! Saudara kamu itu ngerusak anak saya! Kamu tau?” Ia menarik rambutku ke belakang hingga aku bisa menatap wajahnya dengan jelas.

Ia menampar wajahku. “Kakakmu itu tamat SD, tidak sih?!

Kalimat itu, kalimat itu benar-benar menghantam dadaku. Walaupun Ibu dan Bapakku bekerja dengan upah yang tidak bisa dikatakan besar, namun mereka masih bisa menyekolahkan Gilang hingga mendapatkan ijazah SMA-nya.

Asumsiku, orang lain yang mendengarnya pasti benar-benar tidak habis pikir dengan mulut wanita di depanku ini.

Ingin sekali rasanya kukeluarkan kata-kata yang sudah bersarang di kepalaku namun aku mendengar suara Bunda Aruna juga kerumunan-kurumunan yang bergeser, samar-samar kudengar mereka mengatakan 'ada satpam' juga.

Alastair Owns MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang