Tidak rela merupakan bagian dari alasan mengapa sampai saat ini kamu gagal melupakan seseorang.
Goresan pena itu meluncur begitu saja sembari aku yang menempelkan kepala di meja kantin. Bersama ketiga makhluk gila, tentu saja.
Cewek berpipi bapau dengan sedikit kemerahan mencolek bahuku iseng. "Galau nih ye."
"Iya, galau mikirin biaya rumah sakit Gilang!" Kesalku padanya.
Demi apa pun kali ini aku benar-benar bertekad untuk melupakan Alastair.
Akan tetapi, sahabat-sahabatku ini seperti tidak mendukung pilihanku.
"Kalau ngejual rumah gue, berapa yah kira-kira?" Pertanyaan tergolong pelanku itu membuat ketiganya spontan kaget dan setelahnya adalah pertanyaan bagaimana tingkat depresiku sekarang.
Hey, aku ini bertanya dan membutuhkan jawaban bukan pertanyaan-pertanyaan balik yang menjurus 'lo gila yah?'
"Gue bakal bantu kali Than, kalau lo bener-bener depresi karena itu." Jessica mengeluarkan suaranya yang membuat kepalaku bangun dari telungkup. Aku tersenyum tipis kemudian menggeleng.
"Udah ribuan kali ngerepotin kalian, apalagi Bunda Aruna, gue bener-bener gak enak."
Ghea memutar bola mata, menahan kepalaku yang hendak telungkup kembali. "Emang lo pikir kita-kita ini gak pernah ngerepotin elo?" Cani dan Jessica mengangguk.
Aku berdecak. "Beda!"
"Gak!"
"Beda!"
"Ya terus sekarang mau lo apa? Jual rumah lo? lo yakin? kenangan sama Ibu lo di situ dan segampang itu mau lo jual?"
Lagi, aku menghela napas, yang dikatakan Cani barusan itu benar adanya, namun di otakku hanya itu yang terlintas untuk menghasilkan uang banyak dan cepat, mungkin.
"Yaudah gue balik aja kayak dulu, morotin cowok."
"Heh! lo gila!"
"Lo semua pada tau gue yang dulu, kenapa baru sekarang nanya kayak gitu?" Aku menelungkupkan kepala sedangkan kuyakin Jessica, Ghea dan Cani sudah tidak habis pikir dengan isi otakku.
"Aa! Mau tali id card Batalyon buat gantungan kunci motor," Mendengar teriakan Jessica membuatku sedikit mengintip dari balik tanganku. Ternyata Alastair dan teman-temannya yang baru saja memasuki kantin.
Cowok itu membalas dengan anggukan kecil. Kemudian berlalu ke bagian pojok, bergabung bersama anak Batalyon yang lain.
"Datar amat tuh anak."
"Mood lagi jelek, Mario bilang Cakra lagi PMS."
"Kenapa emang?" Cani bertanya yang dijawab oleh gerakan bahu Ghea, tanda bahwa cewek itu tidak tahu.
"Kepo juga kan lo?" Pertanyaan Jessica dengan gaya yang menyelidik saat aku tidak sengaja mengintip pembicaraan mereka.
Menggeleng, tentu saja, mana mau aku ketahuan layaknya orang 'kepo'
Iseng, aku sedikit menoleh ke arah Alastair yang sialnya sedang menatapku dengan tatapan datarnya. Aku tidak mengerti maksud dari tatapannya. Daripada semakin bingung dan dibuat kesal juga, aku memilih untuk mengalihkan pandangan. Apa-apaan sih dia! Seperti ingin menghabisiku saja.
"Cariin pacar lagi dong, tapi yang hedon."
"Noh Aa Cakra." Aku berdecak mendengar jawaban Ghea.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alastair Owns Me
Teen Fiction[SUDAH TERBIT DI COCONUTBOOKS, PART TIDAK DIHAPUS] Kebodohan terbesarku adalah membantu dirinya untuk mendapatkan orang yang dia cintai. Dan, kebohongan terbesarku adalah pura-pura baik-baik saja akan semua itu. copyright© 2019