'AOM; 27'

112K 13.1K 3.1K
                                    

Kebodohan terbesarku adalah membantu dirinya untuk mendapatkan orang yang dia cintai.

Dan, kebohongan terbesarku adalah pura-pura baik-baik saja akan semua itu.

Aku pernah sebaik itu dalam mencintai seseorang namun tidak lagi untuk sekarang.

Mungkin.

Lapangan basket sore ini. Aku hampir tidak mengeluarkan suara sama sekali apalagi, melihat Alastair ada di tempat ini juga. Sedang bermain basket menggunakan jersey merah khas anak basket sekolahku. Belum lagi keringatnya yang tidak sopan mengucur. Sial.

Entah apa yang membuat kedua sahabatku terketuk hatinya menonton pacar-pacar mereka latihan basket. Intinya sore ini aku malah ikut-ikutan duduk di pinggir lapangan sembari melihat para kaki-kaki jenjang sedang ke sana ke mari.

Ghea datang dengan jersey yang mirip Alastair gunakan. Ia latihan di lapangan yang berbeda.

Ketiga cewek yang bersamaku ini menepuk tangan dan berteriak riuh saat Alastair memasukkan bola ke dalam ring.

"Tepuk tangan donggg." Jessica mengambil kedua tanganku kemudian digerakkan seakan-akan aku menepuk tangan.

"Dah ah, males, mau pulang. Pacar gue udah di depan pasti." Aku beranjak. "Jangan kangen yah, bye." Mereka mengeluarkan ekspresi ingin muntah saat kalimatku itu.

Entah dorongan dari mana, mata sialku ini malah dengan bodohnya masih saja melirik Alastair sebelum aku benar-benar pergi.

Cowok itu juga menoleh padaku namun, cepat-cepat kuhindari kemudian segera meninggalkan tempat ini.

Sudah kubilangkan kalau aku benar-benar ingin melupakan Alastair?

Aku tidak akan melakukan ini loh kalau saja Alastair memberiku kejelasan. Iya kejelasan. Aku tahu sedari dulu ia sudah peringatkan untuk tidak jatuh cinta padanya. Namun, tidakkah ia merasa bersalah dengan permainan tarik ulurnya. Jelas-jelas ia melarangku untuk jatuh cinta padanya namun mengapa ada saja kelakuannya yang membuatku sulit untuk melupakannya.

Singkatnya, kalau dia memang sedari dulu tidak ada rasa padaku. Setidaknya jangan membuatku berharap lebih.

Aku kembali menjadi Thana yang seperti dulu. Jauh sebelum Alastair datang ke kehidupanku. Sepertinya begini lebih baik.

"Thana!" seruan itu membuatku menoleh. Sial.

Tidak, aku sedang tidak ingin berbicara dengannya.

"Thana!" Alastair menarik lenganku.

"Apa?"

"Kamu marah?"

"Hah?" Gila! Alastair Gila!

Ia menunjukkan pesan Bundanya padaku. Yang tidak sampai semenit aku mengerti tujuannya memanggilku.

Bunda Aruna menyuruh Alastair untuk pulang bersamaku.

"Gak usah, makasih, gue udah ada yang jemput."

"Than."

"Nggak! Gue bisa pulang sendiri!" Tegasku padanya.

Kedua bibirnya mengatup saat aku mengatakan itu. Sial, keberanian dari mana tadi hingga seenaknya kubuat seperti itu kosong satu Batalyon!

Alastair Owns MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang