“Ada yang pengen saya omongin.”
Mendengar kalimat yang baru saja ia keluarkan, aku yakin bahwa perihal yang ingin ia bicarakan itu ... penting.
Aku kembali bergabung duduk di kursi cokelat, tepat di samping Alastair. Di depan sana ada mereka yang tengah menyanyi dan bermain air. Saat ini kami memang berada di bagian kolam renang rumah Jessica.
“Mau ngomongin apa, yah?” Cowok di sampingku tidak langsung menjawab melainkan menatap ke arahku singkat kemudian kembali mengalihkan pandangan ke depan sana. Aku terhenyak, selain jantungku yang ingin keluar, menelan saliva saja rasanya susah.
“Kamu beneran yah suka sama saya?”
Demi apa pun. Alastair ini ... sesuatu. Hanya dengan satu kalimat itu aku benar-benar bungkam dibuatnya, terlebih ia kini meneliti diriku yang menatapnya kaget.
“Saya gak maksa kok kalau kamu emang gak mau jawab.”
Kugaruk tengkukku yang tidak gatal. “Tanpa gue jawab lo pasti tau jawabannya.”
“Kalau emang bener, saya gak mau kamu terus-terusan kayak gitu.”
“Kenapa? Gue baik-baik aja kok. Gue gak sebucin yang lo kira.”
Alastair menghela napas, merubah gaya duduknya yang tadi menumpukkan kedua siku di atas paha kini berganti melipat kedua tangannya di dada. “Hari ini kamu ngomong gitu, gak tau besok kalau-”
“Gue beneran baik-baik aja.”
“Dan saya yang gak baik-baik aja.”
“Gak baik-baik gimananya? Lo masih sehat sentosa gak gue apa-apain.”
“Kamu tau semuanya, Than. Tapi, kamu masih yakin bakal baik-baik aja.”
“Iya, aku tau semuanya, kamu dan Ayra, puas?”
Kulihat dia mengangguk. Sial. “Saya gak mau jadi orang sejahat kakak saya.”
“Maka lo jangan jadi seperti kakak lo, sesederhana itu, Al.”
“Tapi kamu yang buat saya kayak gitu.”
Kuhela napasku. “Lakuin apa yang pengen lo lakuin. Hati gue urusan gue, gak bisa lo paksa.”
“Jangan diterusin, Than, sebelum kamu gak akan pernah bisa berhenti.”
Aku menoleh, menatap kedua bola mata Alastair yang begitu tenang di sana. “Mari lihat nanti, siapa yang akan menang,” kataku penuh percaya diri tak lupa menampilkan senyum di sana.
Dia tersenyum sangat tulus sembari menoleh ke depan, kulihat tercetak lesung pipi di sana. Benar-benar tidak sesuai perkiraanku. “Siapa pun yang menang nanti. Saya harap, baik saya maupun kamu sama-sama bisa terima itu.”
Alastair Drie Wardana, dengan kamu yang berbicara baik-baik seperti itu, benar-benar membuatku tidak bisa melakukan apa yang kamu pinta.Sejauh menyelami dunia percintaan, baru kali ini ada seseorang yang menyuruhku untuk berhenti menggenggam perasaanku untuknya secara halus seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alastair Owns Me
Teen Fiction[SUDAH TERBIT DI COCONUTBOOKS, PART TIDAK DIHAPUS] Kebodohan terbesarku adalah membantu dirinya untuk mendapatkan orang yang dia cintai. Dan, kebohongan terbesarku adalah pura-pura baik-baik saja akan semua itu. copyright© 2019