WALAU tidak dalam sebuah pertandingan pun aku harus sportif. Iya, sportif melihat dia lebih unggul menaklukanmu, contohnya.
'Tuk'
Sebuah gelas mendarat sempurna tepat di hadapanku yang spontan membuatku menengok ke atas ada masalah apa dengan si pelaku.
Alastair.
“Si Mbok pernah bilang kalau waktu itu pernah liat sesuatu di sini, tiap malam juga suka ngeluarin suara aneh. Saya gak mau yah kalau ada orang di rumah saya yang kesurupan. Males disuruh nyari pawang setan soalnya.”
Kupukul lengannya. “Kurang ekor ya lo!”
“Kenapa sih? Emangnya saya itu salah dimananya?”
“Udah sana pergi!”
“Siapa juga yang mau lama-lama ditempat ... anu.”
“Apa sih ih, sana!”
Alastair mengedikkan bahu. “Eh apa tuh!” ujarnya keras yang langsung membuatku spontan berteriak dan berlari mendekatinya. “Ngapain kamu? Maksud saya tuh di sana ada cicak.”
Kuikuti arah jari telunjuknya.
Iya, cicak.
Sialan!
Spontan kulepaskan rangkulanku terhadap lengannya saat aku dan Alastair menyadari hal tersebut. “Jangan nakutin orang bisa gak sih!.”
“Siapa yang nakutin?”
“Lo!”
“Kamu aja kali yang penakut.” Demi Tuhan, Alastair, aku benar-benar ingin memukul kepalamu seandainya saja kamu itu bukan laki-laki yang aku sukai. “Bikinin 6 es teh, abis itu dibawa ke gazebo, sekarang.”
Aku mendengus. “Sana pergi!”
“Hati-hati, biasa sih kalau bukan di belakang yah jatuh dari atas.”
“Alastair!”
“Tadi kamu ngusir, kenapa sekarang malah manggil.”
“Jangan nakutin bisa gak sih!”
“Saya gak nakutin, cuma ngasih tau aja.”
“Oh ya?”
Dia mengangguk, tangannya bergerak mengambil buah apel kemudian menggigitnya. “Panggil Cakra bisa gak sih? Kuping saya pegel dengernya, berasa dipanggil guru.”
“Biarin, wlee,” Kupeletkan lidahku yang membuatnya sedikit mendengus kemudian berjalan meninggalkanku.
Menghembuskan napas pelan sembari menatap punggung cowok itu yang baru saja pergi.
Perlakuannya yang seperti ini lah, yang membuatku betah dan takut kehilangan.
Tadi, sebelum benar-benar meninggalkan sekolah aku sempat melihat dirinya menempelkan sebuah botol berisikan air mineral dingin di pipi Ayra.
Aku bukan siapa-siapanya. Namun, mengapa aku merasakan sakit?
Kuangkat nampan berisi teh-teh itu menuju gazebo. Mendekati tempat tersebut, aku mengumpat kecil, serius. Mengapa aku terlalu bodoh hingga lupa untuk siapa teh-teh ini?
Rasanya ingin menangis saja melihat keempat teman Alastair di sana, dan juga seorang cowok berkemeja navy. “Halo, Thana!” Dipo menyapaku sembari melambaikan tangan tak lupa pula dengan senyumannya. “Akhirnya lo gak lari-lari lagi.”
“Enak yah si Cakra, bisa liatin lo tiap hari,” ujar Mario yang membuatku mendelik ke arahnya.
“Lo yang namanya Thana, yah?” Cowok berkemeja navy dengan rambut gondrong itu menyapaku. Cukup tampan, andai saja ia mau memangkas rambutnya aku yakin Jessica bisa pangling dari Reindra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alastair Owns Me
Teen Fiction[SUDAH TERBIT DI COCONUTBOOKS, PART TIDAK DIHAPUS] Kebodohan terbesarku adalah membantu dirinya untuk mendapatkan orang yang dia cintai. Dan, kebohongan terbesarku adalah pura-pura baik-baik saja akan semua itu. copyright© 2019