'AOM; 38'

146K 14.2K 9.2K
                                    

Di rumah Jessica bersama ketiga sahabatku, aku menatap langit malam penuh bintang di atas sana.

Ditemani dengan senandung lagu galau dari Cani, benar-benar membuatku khusyuk mengingat kilasan memori yang dulu-dulu.

Aku selalu bersyukur dengan orang-orang baik yang ada di sekitarku.

Mereka tahu aku mandiri namun, bantuan mereka tidak pernah membuatku merasa sendiri.

Aku selalu menanamkan kebahagian untuk diriku sendiri. Sekali pun hal-hal yang membahagiakan dalam hidupku terkadang ada yang pergi.

Kedua orang tuaku sudah tidak ada, keluargaku tidak seharmonis keluarga lain, aku berusaha hidup sendirian dengan apa yang kupunya.

Aku tidak bisa membohongi diriku kalau aku sedih ketika mengingat itu.

Namun, aku harus bersyukur.

Mulai memahami hidup kalau akan ada yang datang dan pergi.

Adanya keluarga Bunda Aruna, Alastair, sahabatku dan sahabat Alastair adalah orang-orang yang didatangkan Tuhan untuk menutup kesedihanku juga mendorongku agar tetap bersyukur menjalani hidupku.

Aku bahagia dengan kehadiran mereka.

Tiba-tiba saja kilasan perihal kejadian tadi sebelum sampai di rumah Jessica menggerogot.

Dipo sampai di hadapanku dengan motor vespa juga helm bogo yang dikenakannya. Cowok berkaos putih dengan bawahan celana cargo itu memberi klakson juga alis yang dinaik turunkan.

"Sesuai aplikasi yah, Mbak."

Alastair menahan lenganku yang mana aku baru saja hendak berjalan mendekati sahabatnya.

Supir pribadi keluarga Alastair sedang sakit. Bunda Aruna ada urusan yang di mana anak bungsunya ini perlu mengantarnya jadi, Alastair meminta tolong kepada Dipo untuk mengantarku.

Sebelum ke mari Alastair sudah mewanti-wanti sahabatnya itu agar tidak menjemputku menggunakan motor besarnya.

"Ke sini pake motor vespa, jangan dipakein kit tuh jok motor."

"Aa, kamu itu takut banget Thananya saya ambil."

"Itu antisipasi dari fuck boy-fuck boy macem kamu, Mas."

Percakapan kedua orang itu tadi spontan membuatku terkekeh bukan main.

"Sini helm."

"Dih, paan dah, kayak pacar lo gak ada tangan aja mau dipakein segala," Dipo membuangkan sebuah helm kepada Alastair dengan raut wajah memberengut.

"Haduh bacot amat nih duda satu." Kupukul lengan Alastair yang tengah memakaikanku helm ketika cowok itu menjawab perkataan sahabatnya.

Setelah ritual tersebut aku naik ke motor Dipo.

"Dip hati-hati. Kabarin kalau udah nyampe."

"Saha yang nyampe kalau aing kabarin, Thana apa aing?"

"Menurut maneh aja."

Dipo memberikan muka sebal dengan ia yang perlahan mulai melajukan motornya.

Lagi, aku hanya terkekeh melihat interaksi kedua orang itu juga membalas lambaian tangan seorang Alastair padaku.

Alastair Owns MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang