Dahyun kembali setelah menenangkan dirinya. Ia membuka pintu dan melihat Sana tertidur lelap dengan rambut yang sangat basah. Bahkan bantalnya ikut basah.
"Ya ampun, bagaimana dia bisa tidur dengan rambut basah seperti ini?" Gumam Dahyun. Ia memakluminya karena ia tau kondisi Sana. Dahyun segera mencari hair dryer di meja rias Sana. Sepertinya bergaul dengan Noona nya, sedikit berguna juga.
Dahyun pun menyalakan hair dryer tersebut.
Dengan telaten namun sedikit kaku, Dahyun mengeringkan rambut Sana. Ia juga menikmati keharuman yang berasal dari rambut indah itu, sangat segar.
Saat selesai, Dahyun juga menggantikan bantal Sana yang basah. Ia perlahan kembali berdiri dan ingin mengambil selimut untuk Sana.
"Jangan pergi, tetap di sini." Cegah Sana dengan tangan yang sudah meegang erat pergelangan tangan Dahyun. Bahkan Dahyun belum sempurna berdiri. Matanya seperti memohon agar Dahyun tidak kemana mana.
"Aku hanya akan mengambil selimut." Sana menggeleng.
'astagfirullah! Anak sapa sih ni!? Emakny ngidam paan seh kok imut gini!?!?!?' batin Dahyun. Gaga, canda
"Ok.. ok.. baiklah. Aku tidak akan kemana mana." Dahyun duduk kembali. Ia duduk bersila di atas ranjang. Tiba tiba Sana merangkak dan berbaring si pahanya. Tentu saja jantungnya berdetak tak karuan. Ditambah lagi, Sana memeluk perutnya erat.
"Dahyun, nyanyikan aku lagu tidur." Pinta Sana dengan suara aegyo. Dahyun tersenyum tipis, kemudian mulai bernyanyi dengan suara beratnya.
"Tidurlah... Mimpi indah menunggumu." Dahyun mulai bersenandung dengan lagu buatannya sendiri. Ia hanya bisa sedikit bahasa Jepang. Jadi, maklum jika anak itu tidak terlalu tau menahu.
Tangan Dahyun memainkan rambut halus Sana. Perlahan, Sana mulai larut ke dalam mimpinya. Dahyun dengan hati hati melepas pelukan Sana. Kemudian, memindahkan Sana pada posisi semula. Ia mengambil selimut dan menyelimuti tubuh mungil Sana.
"Selamat malam." Bisiknya lembut. Ia keluar menuju tempat para pengurus rumah sakit menginap. Ya, sesekali mereka tidur di rumahnya sendiri. Tapi, akan sangat membuang waktu. Toh, jam 6 pagi harus sudah ada di sini. Ada 4 kamar, yang masing masing berisi dua tempat tidur tingkat.
.
.
.
.
.
"Hah, akhirnya bisa istirahat." Dahyun merebahkan tubuhnya setelah mandi dengan air hangat."Bagaimana?" Tanya Chaeyoung yang posisinya ada di atasnya. Ia hanya memunculkan kepalanya untuk berbicara kepada Dahyun yang posisinya berada di bawahnya. Dan di tempat tidur samping Dahyun, hanya ada satu orang terlelap. Ia
tidak tau siapa namanya."Apanya?" Jawab Dahyun.
"Nona Minatozaki Sana. Apa sudah lakukan padamu?" Aku mengkerut dahiku.
"Kenapa memangnya? Dia tidak apa apa. Malah dia yang memintaku untuk membuatnya tidur." Jelas Dahyun. Seketika juga, Chaeyoung turun melompat dari atas hanya demi menanyakan kepada Dahyun apa yang tidak pernah Sana perbuat sebelumnya.
"Hey! Apa apaan kau ini!?" Dahyun hampir mengumpat karena terkejut saat Chaeyoung tiba tiba melompat dari atas. Untung satu orang yang terlelap tadi tidak terbangun karena kegaduhan mendadak kedua anak manusia ini.
Chaeyoung duduk di samping kaki Dahyun.
"Kau satu satunya yang tidak depresi saat keluar dari kamar itu. Wah! Luar biasa!" Chaeyoung berkata sambil mengacungkan dua jempolnya.
"Hah? Depresi?" Lagi lagi Dahyun tidak mengerti dengan penjelasan Chaeyoung.
"Baiklah, ku jelaskan. Sana adalah anak pemilik rumah sakit jiwa ini. Dan setiap perawat akan mengundurkan diri walaupun belum sehari melaksanakan tugas nya. Mereka bilang, bahwa Sana berusaha membunuh mereka." Penjelasan Chaeyoung berhasil membuat bulu kuduk Dahyun berdiri.
"M-membunuh?" Chaeyoung mengangguk.
"Mereka bilang, Sana akan terus melempari mereka dengan benda apa saja yang ada." Sambung Chaeyoung.
"Tapi, Sana tidak melakukan apapun padaku." Jelas Dahyun pada Chaeyoung. Ia menaikkan kedua bahunya tanda tidak mengerti.
"Mungkin kau spesial."
.
.
.
.
.
TbcEakkk, lama ga update:v
Sorry ya... Buntu soalnya awokawokawokawok
Pada kangen kan???
/Plak
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy [SaiDa]
Fanfiction[𝑬𝒏𝒅✓] Kim Dahyun, seorang pria yang memilih untuk memenuhi kehidupannya sendiri. Ia benci jika harus dijadikan mesin uang oleh ayahnya. Ia juga rindu dengan sosok ibu yang selalu mendukung keputusannya. Ia bingung dan kesulitan untuk mencari pek...