Aku meringkuk di sudut kamar. Tatapanku nanar membayangkan tentang masa depanku kelak. Ketakutan hamil ketika tamu bulanan telah terlambat hadir selama dua bulan. Padahal Ujian Akhir Nasional nyatanya juga telah di depan mata.
"Arghhh ... ini karena kebodohanku sendiri!"
Aku mendengus kesal meratapi semua yang telah terjadi. Padahal sudah tahu pasti jika penyesalan ini telah terlambat dan waktu tidak bisa berputar kembali.
Ingin bercerita dengan Ibu rasanya tak sanggup. Omelan yang memekakkan telinga enggan kudengar. Ayah apalagi, pasti kemarahannya melalui ujung telepon akan menjadi-jadi, jika kehamilanku benar terjadi. Ayah saat ini sedang berada di Malaysia untuk menjadi TKI.
Aku beranjak keluar kamar dan diam-diam menyelinap pergi dari rumah. Terbersit di pikiran ini untuk menenangkan diri di tepi pantai sambil menikmati desiran angin dan ombak yang berarak. Aku benar-benar didera rasa frustrasi.
Kurang lebih lima menit berjalan kaki, diriku tiba di tepi pantai yang lumayan sepi. Tepatnya belum ada aktivitas nelayan lagi, karena sebagian besar berangkat pagi buta dan rata-rata akan kembali selesai adzan dhuhur dan sore hari.
Batin ini bukannya semakin tenang malah semakin risau dan pikiran pun semakin kalut. Aku segera meninggalkan pantai menuju rumah Fahmi, kekasihku. Tatapanku nyalang seraya menyusuri jalan setapak.
"Woee ... Imah! Kalo jalan jangan ngelamun!" teriak seorang pengendara yang tak sadar akan kutabrak.
Seketika diriku tersentak dan berusaha segera mengembalikan kesadaran untuk fokus berjalan. Jalan setapak menuju rumah Fahmi tidak terlalu lebar dan hanya muat untuk satu mobil itu, memang ramai oleh lalu lalang pengendara.
Langkah ini tepat tiba di rumah sederhana bercat biru. Dari kejauhan tampak Fahmi sedang bermain gitar bersama teman-temannya di teras. Melihat kedatanganku, dia terkejut dan menghentikan aktivitasnya.
"Fahmi! Aku pengen ngomong sama kamu sebentar saja, bisa?" tanyaku bernada serius karena pikiran ini benar-benar kalut, bahkan aku tak menemukan jalan keluar untuk semua masalah ini.
"Bisa. Masuk dulu, gih, sebentar lagi aku susul!" balasnya sambil menatap ke arahku.
Aku segera menyeret langkah, masuk ke rumah dan duduk di kursi. Rumah yang hanya dihuni Fahmi dan neneknya ini memang terasa sepi. Kedua orangtua Fahmi lebih memilih bekerja sebagai TKI di Malaysia, sama seperti ayahku.
Pandanganku menerawang, mengingat beberapa bulan yang lalu, saat aku dan Fahmi melakukan perbuatan tercela di rumah ini berulang kali. Tepatnya, kami melakukan di ruangan paling ujung yang merupakan kamar Fahmi.
"Hei melamun!" ujar Fahmi yang menghampiriku, sontak membuat lamunan ini buyar seketika. "Mau ngomongin apa?" imbuhnya kemudian sambil berdiri di depanku dan mengelus pucuk kepala ini.
"Teman-temanmu udah gak kedengaran suaranya. Apa mereka udah pada pulang?" tanyaku sebelum memulai pembicaraan yang menurutku penting dan sangat urgent.
"Ya. Mereka udah pada pulang semua. kenapa?" tanyanya kemudian.
"Gak papa. Aku cuma takut kalau mereka nanti menguping obrolan kita aja," tukasku sambil menghela napas lega.
Fahmi kemudian duduk dan lebih mendekat padaku. Tangannya lagi-lagi membelai lembut anak rambut yang sebagian menutup sebelah mata ini.
"Kamu mau ngomongin apa?" tanyanya berulang.
Aku tak menjawab, tetapi menatapnya lekat. Ada ketakutan dan keraguan untuk memulai pembicaraan ini. Aku takut jika Fahmi akan lari dari tanggung jawab jika aku berterus terang, sepertinya telah berbadan dua. Meskipun saat hendak melakukan waktu itu, Fahmi telah berjanji padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
WANITA PEZINA
RomancePergaulan di luar batas membuat wanita bernama Imah hamil di luar nikah dan mengharuskan dia menjalani pernikahan dini kemudian bercerai. Hari-hari selanjutnya dia berpetualang dengan beberapa laki-laki, membuatnya terjebak dalam lubang perzinahan d...