Bagian 20

3.9K 85 22
                                    

Aku dan Taufik makin sering ketemu, hingga mengabaikan nyinyiran tetangga. Taufik seperti candu bagiku, sehari tak bertemu rasanya sangat menyesakkan dada. Lagi-lagi kata rindu seolah membuatku latah.

Hubungan kami masih dirasa aman, belum tersentuh oleh keluargaku. Tapi entah keluarga Taufik. Aku tidak pernah bertanya tentang kehidupan pribadi beserta keluarganya. Meskipun hubungan ini telah lumayan lama terjalin. Cukup bagiku mengetahui alamat rumahnya.

Aku menghabiskan malam akhir tahun hanya berdua dengan Taufik di rumah kosong milik saudaranya. Taufik tak memberikan jeda walau hanya sejenak, nafsu birahinya selalu ingin dilayani. Aku pun tak kuasa menolak, karena dalam hatiku juga merasakan gairah yang sama.

"Mas, benar-benar mencintaiku aku, kan?" tanyaku usai melakukan hubungan intim dan masih berada di ranjang, menyandarkan kepala di dada bidangnya."

"Kamu nggak usah khawatir. Tentu saja aku mencintaimu, Sayang," balasnya seraya membelai lembut kepala.

Aku mendongak seraya bola mataku membulat saat memandang wajahnya yang tak kalah terkejut ketika. memandangku.

"Hei, kamu kenapa? Kok kayak kaget dan bingung gitu?"

"Mas! Sebelum melakukan hubungan tadi, aku ... aduhhh! Aku lupa minum pil KB, Mas."

"Beneran?"

Aku mengangguk lemas, seketika bayangan ketakutan hamil lagi menari-nari di pikiran. Taufik yang melihat wajahku berubah ketakutan, berusaha menenangkanku. Kembali dibenamkannya kepala ini di dadanya.

"Udah terlanjur, nggak pa-pa. Seandainya nanti hamil aku akan bertanggungjawab. Aku janji!"

Aku semakin bingung, hingga tak terasa menggigit ujung telunjuk sendiri.

***

Taufik perlahan berani datang ke kampungku, walaupun tidak ketemuan di rumah orangtuaku atau rumah Bude. Kami ketemuan di rumah temannya yang juga tetanggaku.

Kami saling bercanda dengan Sahrul juga. Hingga diriku mendengar Sahrul bertanya tentang keadaan istri dan anak Taufik.

"Istri dan anakku baik, Rul," balas Taufik seraya menatap wajahku.

"Kok, bisa kenal Dek Imah di mana?" Sahrul yang tidak tahu persis hubungan kami mencerca pertanyaan.

"Lewat FB, Mas!" sahutku cepat dengan dada penuh gemuruh rasa penasaran dan kecewa.

Akhirnya, dengan memendam rasa kecewa diriku berpamitan pulang dan meninggalkan Taufik di rumah Sahrul.

***

Taufik berusaha meyakinkan hatiku akan mengurus surat perceraian dengan istrinya untuk menikah denganku. Aku yang tidak ingin merusak rumah tangga yang telah dibina bersama istri pertama, lebih memilih jadi yang kedua.

Taufik akhirnya datang ke rumah menemui Ibu untuk mengungkapkan keinginannya melamarku. Aku sengaja menyuruhnya datang di saat Ayah masih di Malaysia, karena bulan depan akan pulang. Aku takut jika ada Ayah pasti akan keras menentangnya. Semua karena Taufik telah beristri.

Ibu yang kuharapkan lebih melunak dibandingkan Ayah, nyatanya juga enggan menerima keinginan Taufik. Di sinilah pikiranku semakin kalut. Aku juga tidak tahu nasibku bulan depan saat Ayah pulang.

Sejak Ibu menolak keinginan Taufik dan disuruh menunggu keputusan Ayah jika telah pulang, aku mulai jarang berkencan.

Aku merasakan lelah dan sering mual akhir-akhir ini. Dan aku merasakan kalau berbadan dua. Semua kuketahui lewat pengalaman hamil Fatih dan Humaira. Namun, keadaan itu tidak berlangsung lama dan  kembali seperti biasa. Aku tidak merasakan ngidam yang berarti, sehingga bisa menyembunyikan kehamilan ini dari orangtua dan tetangga terutama Ayah.

Aku santai menanggapi kehamilanku kali ini, karena percaya janji Taufik yang akan bertanggungjawab.

***

Plak!

Tamparan Ayah melayang ke pipiku. Rahangnya mengeras dan giginya gemerutuk di sela amarahnya yang mengetahui kehamilan ini. Ayah tahu kehamilan ini dari saudara yang sering mendengar curhatanku, karena rasa kasihan akhirnya dia mengadukan ke Ayah.

Aku bergegas mengemas beberapa potong baju ke dalam tas jinjing. Malam ini juga aku segera meninggalkan kampung untuk tinggal di rumah Pakde Imron.

Aku memang bersalah telah memalukan keluarga di hadapan masyarakat. Wajah orangtuaku benar-benar tercoreng untuk ke sekian kali.

"Pakde, tolong Imah! Tampung di sini dulu hingga aku melahirkan," rengekku begitu tiba di rumah Pakde  diantar Nabil tadi.

"Kamu memang nggak ada kapoknya!" seru Pakde tak kalah marah juga.

Meskipun Pakde marah, beliau tetap mengizinkan tinggal di rumahnya hingga diriku melahirkan.

"Pakde minta alamat yang menghamilimu, sini! Di mana rumahnya?" tanya Pakde membuatku terkejut dan seketika ketakutan terjadi hal-hal seperti dulu saat berhubungan dengan Mas Lutfi.

***

Taufik telah mengabariku melalui pesan singkat jika Pakde Imron menuntut pertanggungjawabannya atas kehamilanku. Namun, lagi-lagi aku harus menelan pil pahit. Pada kenyataannya Taufik tidak bisa menikahiku tanpa izin istri pertama. Dia hanya bisa bertanggungjawab atas biaya kelahiran anaknya, kelak.

Aku merasakan perut mulas tanda akan melahirkan. Keluarga Pakde Imron segera membawaku ke klinik rumah bersalin. Taufik yang kuhubungi justru menolak menungguiku bertaruh nyawa melahirkan darah dagingnya. Segala biaya persalinan dari Taufik ternyata telah diserahkan kepada Pakde Imron tanpa sepengetahuanku.

Aku merasa terpukul, sedih dan kecewa dengan sikap Taufik. Genap tiga hari di klinik bersalin akhirnya diriku dan bayi lelakiku yang masih merah diizinkan untuk pulang.

Saat bersiap untuk pulang, diriku terkejut dengan kehadiran Taufik yang ingin membisikkan suara adzan di telinga darah dagingnya. Aku makin terharu juga saat Ibu dan saudara menjemputku untuk pulang ke rumah, bukan di rumah Pakde lagi.

Taufik tidak ikut mengantarku pulang ke rumah Ibu. Tiba di rumah,wajah muram Ayah menyambutku. Sedangkan anakku Fatih sangat acuh, beda dengan Humaira yang ingin menempel terus. Seolah rindu setelah tiga bulan tanpa kasih sayang dariku.

Satu per satu tetangga berdatangan menjengukku. Ayah yang sejak tadi tampak muram, wajahnya sedikit tersenyum dan berbasa-basi dengan tetangga. Aku seketika gugup, menyambut Umi Layli tetangga sebelah rumah Ibu.

"Iya, Umi. Lahirnya pagi hari," jawabku saat Umi Layli menanyakan waktu lahir bayiku seraya memberikan ke pangkuannya.

"Tampan. Kulitnya putih bersih. Ayahnya juga ada waktu Mbak Imah persalinan?"

Aku menggeleng lemah seraya bola mata mengembang oleh buliran bening. Umi Layli adalah ibunya Risman, saksi hidup yang mengetahui hubunganku dengan Taufik. Aku merasa malu, takut Umi Layli tahu ceritaku dari anaknya tersebut.

Sekian tetangga yang menjenguk, aku menyimpulkan gelagat mereka. Ada yang acuh, biasa, terang-terangan nyinyir, bahkan ada juga yang saling berbisik. Hanya Umi Layli yang menunjukkan empatinya kepadaku.

WANITA PEZINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang