Bagian2

17K 163 5
                                    

Malam ini Fahmi memeluk erat tubuhku, kemudian kubalas kecupan mesra di bibirnya. Batinku rasanya tak ingin berpisah, sekalipun niatnya untuk mencari nafkah untukku dan sang buah hati. Tangannya membelai lembut kepala kemudian bibirnya mencium hangat keningku.

Fatih sengaja kutitipkan pada neneknya. Aku ingin menikmati malam ini berdua dengan suamiku. Lampu kamar sengaja kumatikan. Cahaya rembulan yang tembus melalui tirai jendela kaca menambah haru pilu menjelang perpisahan dengan Fahmi esok hari.

"Mas, rasanya gak rela deh, kalo Mas mesti merantau!" rengekku ketika kami berdua saling berhadapan berbaring di ranjang.

"Aku bingung, Mah. Rasanya juga gak ingin ninggalin kamu berdua. Tapi, aku gak tahan kalo tiap hari mendengar sindiran ibumu."

"Besok, boleh ya, ikut nganter Mas ke dermaga?"

"Terus, Fatih sama siapa di rumah?"

"Nanti kutitipkan Budhe lagi."

"Yaudah pikirkan besok aja. Sekarang aku ingin bercinta denganmu, Sayang!" ujar Fahmi seraya menatap wajahku.

***

Keberangkatan kapal yang ditumpangi suamiku untuk menyeberang diajukan dua jam lebih awal. Prediksi BMKG siang nanti gelombang laut mencapai ketinggian empat meter.

Kami bergegas menuju dermaga agar tidak terlambat. Fahmi berkali-kali mencium Fatih yang ada dalam gendongan Budhe. Matanya tampak berkaca-kaca.

"Fahmi! Cepetan, keburu telat." Dari dalam mobil sang calo TKI berteriak.

Aku ditemani Paman Bakar ikut mengantar Fahmi. Saat Fahmi berpamitan, Ayah dan Ibu kulihat tersenyum masam. Mobil siap melaju menuju dermaga.

Kerumunan penumpang dan pengantar kerabat yang akan berlayar sesuai tujuan masing-masing memadati area dermaga. Saatnya aku berpisah dengan suami, entah berapa lama.

Fahmi bersiap menaiki kapal. Digenggamnya tangan ini erat menuju pintu kapal. Di depan tangga masuk kapal, dia menjabat tangan kemudian memelukku.

"Mas, setibanya di sana, cepet kabarin, ya!" bisikku pelan.

"Iya. Jaga Fatih ya, Mah."

Aku mengangguk pelan, tak terasa buliran bening telah menggenang di kelopak mata.

Kapal yang ditumpangi suamiku mulai menjauh dari dermaga. Aku dan Paman Bakar berjalan beriringan menuju parkiran mobil yang tadi kami tumpangi untuk mengantarku pulang.

***
Telepon rumah berdering nyaring. Aku yang sedang mencuci botol susu Fatih segera berlari untuk mengangkatnya.

"Assalaamu'alaikum. Hallo!"

"Wa'alaikumsalam."

"Imah! Aku udah sampai."

"Alhamdulillah, Mas."

"Fatih lagi ngapain, Mah?"

"Lagi tidur, Mas. Tadi kupijatkan sama Mbah Minah, soalnya tadi agak rewel."

"Udah dulu, ya! Mas mau ngobrol dulu sama Bapak dan Ibu."

"Salam untuk Bapak dan Ibu ya, Mas."

"Iya."

Gagang telepon segera kuletakkan. Kembali menuju wastafel untuk melanjutkan mencuci botol susu Fatih yang tadi belum kelar.

Malam mulai larut. Kurebahkan tubuh di samping Fatih yang telah tertidur pulas.

Hampir tiap hari suamiku memberi kabar walaupun hanya beberapa menit melalui ujung telepon. Aku belum bisa bernapas lega, karena Fahmi belum juga memperoleh pekerjaan yang tepat untuknya.

Tiga bulan berlalu, aku memperoleh kabar bahwa Fahmi kena razia oleh kepolisian Malaysia. Pemberangkatan Fahmi ke Malaysia ternyata tidak melalui prosedur yang resmi. Setelah orangtuanya yang kebetulan berada di sana mengurusnya, Fahmi dibebaskan dari razia dan dipulangkan.

Batinku makin terasa pilu mendengar Fahmi akan pulang. Pilu bukan karena tidak menginginkan kepulangannya, melainkan sindiran Ibu yang sudah mulai terdengar lagi di telinga.

***

Sejak kepulangannya dari Malaysia, kami berdua sering cekcok. Sindiran dan campur tangan orangtua membuat rumah tanggaku makin runyam.

"Imah, kalo begini terus mendingan kita cerai saja. Aku sudah bosen disindir terus oleh ibumu."

Bagai petir di siang bolong, ajakan bercerai itu membuatku terkejut.

"Aku gak mau, Mas!" sungutku dengan isakan tangis.

"Kita harus tetap bercerai. Aku sudah bosen begini terus."

Aku tak mampu berkata lagi, isakan tangisku makin menjadi. Fahmi melangkah keluar dari kamar meninggalkanku yang masih tergugu dalam tangis.

Meskipun ajakan cerai sudah terucap dari bibirnya, namun kami berdua masih melakukan hubungan suami istri. Emosi kami berdua masih sama-sama labil.

***

"Imah! Katanya Fahmi mau menceraikanmu?" tanya Ibu menggerutu.

"Gak tau, Bu. Lagian Imah juga gak mau dicerai!" sanggahku atas pertanyaan Ibu.

"Kalo aku jadi kamu, malah bersyukur dicerai. Toh, selama ini juga gak pernah ngasih nafkah sama kamu dan Fatih. Ayah dan Ibu yang menanggung hidupmu," keluhnya tampak kesal.

"Kasihan Fatih, Bu."

"Kasihan sama anak atau kamu saja yang masih sayang?"

Aku tak lagi menyahut. Berusaha berlalu dari Ibu agar urusannya tidak semakin panjang. Aku sungguh mengenal Ibu. Semakin diladeni semakin melebar ke mana-mana.

Malam menjelang, sambil menggendong Fatih yang belum tertidur kunikmati acara TV bersama Ibu.

"Assalaamu'alaikum!" ucap suamiku yang baru pulang entah dari mana seraya membuka pintu.

"Wa'alaikumsalam," balasku. Tampak Fahmi menghampiriku.

"Anak Ayah kok belum tidur?" Suamiku mencubit manja pipi anaknya yang sedang dalam gendonganku. Aku mencium aroma alkohol dari mulut Fahmi.

"Aku kalo jadi Mbak e di sinetron itu, tak buang suami kayak gitu. Gak berguna!" gerutu Ibu saat menikmati sinetron.

Takut terjadi kesalahpahaman lantas kugandeng Fahmi menuju kamar. Kuletakkan Fatih yang telah tertidur di ranjang. Fahmi yang duduk di sisi ranjang lantas bangkit dan memelukku dari belakang. Mulutnya bergumam tak jelas. Mungkin pengaruh minuman beralkohol itu membuat dia meracau tak karuan.

Tubuhku dibalikkan menghadap dirinya secara kasar. Tangannya mulai membuka satu persatu kancing baju atasanku. Masih dalam posisi berdiri lantas bibirnya bertubi-tubi mengecup leher dan bagian dada. Aku sebenarnya tidak tahan dengan aroma alkohol, sehingga membuatku merasakan mual.

Direbahkan tubuhku di atas tikar yang terhampar di lantai kamar. Fahmi menindihku dan menyalurkan nafsunya dalam keadaan mabuk.

***

Pertengkaran hebat melanda rumah tanggaku lagi. Pemicunya adalah sindiran dan sikap Ibu.

"Mas, jangan pergi. Kumohon!"

"Kali ini, aku sudah tidak tahan."

"Kasihan Fatih, Mas."

Fahmi tetap berlalu meninggalkanku dan juga Fatih. Aku sangat menyayangkan sikap Ibu terhadap suamiku.

Kepergian suamiku membuat batin makin tersiksa. Rasa sesal menikah muda hadir di sela tangisanku. Kalau tidak mengingat Fatih yang sedang lucu-lucunya, ingin rasanya pergi jauh entah kemana.

Hampir genap satu tahun usia Fatih dan suamiku telah pergi tanpa memberikan kabar selama hampir dua bulan. Aku berusaha mencari ke rumah kerabatnya, akan tetapi tidak kutemukan batang hidungnya. Entah ke mana perginya suamiku. Jujur, dalam batinku masih mencintainya dan berharap dia kembali ke pelukanku.

WANITA PEZINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang