Bagian 9

5.8K 87 6
                                    

Kuremas surat undangan pernikahan Mas Lutfi dengan Nazwa. Rahangku mengeras, gigi pun gemerutuk, ingin rasanya berlari menemui lantas menampar pipinya. Berjalan mendekati nakas di sisi ranjang, meraih sebuah amplop berisi surat cinta Mas Lutfi yang dulu diam-diam ia titipkan kepada salah satu teman karibku.

Segera merebahkan tubuh, usai membaca surat cinta kenangan. Mataku pun berurai, hatiku pedih. Tanganku pun sengaja merobek kertas yang ada dalam genggaman. Lekas kuusap buliran bening yang telah meleleh di pipi.

'Aku harus menemuinya, setidaknya ini bukan salahku ataupun salahnya. Dia harus tahu bahwa hatiku begitu sakit,' gumam batinku.

Pikiranku menerawang, seakan merasa cinta tak pernah berpihak kepadaku. Buliran bening kembali meleleh, seketika telapak tangan reflek mengusapnya. Aku tersentak dari lamunan saat ibu memanggilku di balik pintu.

****

Pernikahan Mas Lutfi tinggal menghitung hari. Aku pun semakin resah. Untuk menyembunyikan kesedihan, kucoba mengajak Humaira menikmati udara pantai.

kugendong Humaira di belakang punggung, kasihan jika harus menyuruhnya berjalan sendiri. Jarak pantai dengan rumah memang tidak terlalu jauh, aku telah terbiasa berjalan kaki.

Menyusuri jalan, melewati rumah tetangga. Sepintas kuperhatikan wajah-wajah yang menatapku. Ada yang tersenyum, berpaling muka dan kadang melihat lantas saling berbisik. Aku mencoba bercanda dengan Humaira sepanjang perjalanan.

Jalan menuju pantai juga melewati kebun yang biasa kukunjungi saat membantu Ibu. Saat berjalan dari kejauhan tampak seseorang mengendarai sepeda motor. Aku terkejut, jantung berdebar hebat. Mas Lutfi menghentikan laju kendaraannya saat berpapasan denganku.

"Mau ke mana?" sapanya dengan sorot mata tajam seolah tembus ke dada.

"Bu-bukan urusanmu lagi," jawabku lantang.

Humaira yang dalam gendongan di belakang punggung terus merajuk segera melanjutkan perjalanan menuju pantai.

"Aku mau bicara sebentar mumpung ketemu di sini," tukasnya.

"Gak ada yang perlu dibicarakan lagi," kilahku.

Tampak Mas Lutfi turun dari sepeda motor, lantas meletakkannya di tepi jalan. Menarik dan menuntunku masuk ke dalam kebun.

"Apa-apaan, sih! Lepaskan!" teriakku membuat Humaira mengencangkan pegangannya di bahuku.

"Kamu tau, gak, selama ini aku dan keluargaku menahan sakit akibat ulah bapak dan pakdhemu? Uang duapuluh juta yang diminta, sebenarnya uang simpanan untuk menikahimu. Satu, yang mau kutanyakan. Uang itu kamu dan anakku menikmatinya, tidak?" Mas Lutfi menanyaiku dengan geram.

"I-iya udah diberikan kepadaku, sebagian untuk biaya persalinan anakmu," jawabku terbata disusul tangisanku yang pecah.

Aku terpaksa berbohong kepada Mas Lutfi. Uang yang seharusnya utuh diberikan padaku, ternyata sama Pakdhe Imron hanya diberikan limabelas juta. Itu pun aku tidak memegangnya, semua dikendalikan Ibu.

Kuhempaskan tangan Mas Lutfi, lantas segera keluar dari kebun.

Humaira tampak ketakutan, Mas Lutfi sebagai ayah tak peduli sama sekali. Langkahku semakin cepat kemudian Mas Lutfi pun menyusulku dari belakang.

Keluar dari kebun dan berhenti sejenak di tepi jalan, dari arah depan tampak Ayah melintas entah dari mana. Mas Lutfi pun tak kunjung pergi. Rasa cemas dan jantung berdegup keras, saat Ayah mendadak berhenti tepat di depan kami.

Ayah memandangku dengan sorot mata yang tajam. Wajahku pun menunduk tak berani menatapnya. Mas Lutfi beringsut meninggalkanku, Humaira dan juga Ayah, tanpa kata.

"Habis ngapain, kamu, Imah?" tanya Ayah menyeringai.

"I-imah gak ngapa-ngapain, Yah," jawabku gugup.

"Pulang sekarang. Sampai di rumah segera bawa anak-anak dan pakaianmu, pergi dari rumah! Aku sudah malu dengan sikapmu. Ingat! Jangan sampai aku pulang, kamu masih di rumah."

Tanpa bisa membela diri, Ayah mengusirku setelah memergokiku bertemu dengan Mas Lutfi.

Aku urungkan pergi ke pantai, lantas kembali berjalan menuju rumah dengan derai air mata dan dada terasa sesak. Rasanya sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sakit.

***

Kukemasi beberapa pakaian ke dalam tas jinjing. Satu-satunya rumah yang akan kutuju adalah rumah Budhe.

Kugendong Humaira di belakang punggung, sebelah tangan menenteng tas jinjing dan sebelah tangan lagi menggandeng Fatih. Aku dan anak-anak memenuhi perintah Ayah, keluar dari rumahnya.

Budhe menerima kami dengan tangan terbuka. Karena rumah Budhe tidak
ada kamar yang tersisa, terpaksa kami tidur di ruang tamu.

Seakan telah kering air mataku, saat bercerita dengan Budhe, tak ada kesedihan sama sekali di hatiku. Akan tetapi sakit hatiku berubah jadi rasa dendam.

Hari berlalu, seolah terpaksa menerima keadaan yang terjadi. Batinku tak kuasa melawan. Budhe memang tidak berterus terang atas sikapnya jika berada di depanku. Namun, sindirannya seolah ditujukan padaku. Aku hanya pura-pura tidak tahu, akan tetapi batinku sangatlah sedih.

***

Bunyi sound system rumah Nazwa terdengar hingga di rumah Budhe, menandakan pernikahannya bersama Mas Lutfi segera berlangsung.

Tatapanku nanar, batinku perih. Ingin segera menghindar agar tidak mendengar Mas Lutfi mengucapkan ikrar ijab kabul. Kugendong Humaira dengan pura-pura membelikan jajan di warung. Padahal hati kecilku akan mengajaknya menghindar dari euforia hajatan pengantin seperti yang dirasakan sebayanya.

Humaira sejenak berontak tidak ingin ikut denganku, dia masih ingin main dengan sebayanya. Bermain dengan mainan alat masak memasak yang dibelinya dari penjaja yang mangkal setiap ada hajatan pernikahan. Aku berhasil membujuknya dengan iming-iming es krim kesukaannya.

WANITA PEZINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang