Bagian 7

7.3K 95 6
                                    

Meskipun diriku masih mengulur waktu untuk menerima lamarannya, Mas Lutfi sungguh memahami sikapku. Bahkan perhatiannya semakin bertambah. Seperti saat di kebun, dia dengan sabar mengambil alih tugasku membantu Ibu.

Aku tak bisa mengelak dari tugasku membantu Ibu di kebun, padahal kehamilanku kali ini mengalami ngidam yang lumayan berat. Lesu, mual dan pusing hampir tiap saat mendera. Ketika di rumah aku bersikap seperti biasanya, berusaha tidak menampakkan diri kalau sedang ngidam. Semua kulakukan semata-mata untuk menutupi kehamilanku di depan keluarga.

Saat melangkah ke dapur, tampak di meja makan terdapat buah-buahan bahan untuk membuat rujak. Air liurku hampir saja keluar menahan keinginan untuk segera memakan rujak saat mengalami ngidam seperti ini.

"Imah! Imah! Tolong ambilin rujakan di meja makan." Ibu berteriak memanggilku. 'Yes! Ibu mau bikin rujak. Lumayan aku gak jadi ngiler,' teriakku dalam hati.

"Iya!" sahutku setengah berteriak. Segera kuraih buah bahan untuk rujak, baskom, cobek dan bumbu untuk meramunya.

"Ini, Bu."

"Ya udah sini, bantuin Ibu ngupas buahnya, biar Ibu yang uleg sambalnya," serunya padaku. Dengan cekatan segera kukupas semua buah dan mengirisnya kecil-kecil. Rasanya sudah tak tahan ingin segera mencicipi membuat air liurku hampir saja meleleh.

Saat ngidam buah-buahan terutama mangga muda dan jambu air, aku merasa beruntung karena seisi rumah memang suka membuat rujak. Jadi rasa ngidamku bisa tertutupi. Meskipun di rumah tak leluasa menikmati masa ngidam, akan tetapi Mas Lutfi selalu menuruti setiap keinginanku. Kalaupun tidak dibawa ke kebun, terkadang di depan keluarga aku pura-pura membeli dan kemudian dinikmati bersama mereka di rumah.

***

Masa ngidam telah berlalu, kini usia kandunganku menginjak empat bulan. Perubahan bentuk tubuh mulai terasa, akan tetapi kututupi dengan baju berukuran jumbo yang kupunya.

Sore ini, sambil mengamati Fatih yang bermain di halaman bersama sebayanya, aku, Ibu dan tetangga yang sama-sama menjaga anaknya duduk bersama di teras.

"Mbak Imah sejak hidup sendiri malah justru gemuk, lho, sekarang. Iya, kan, Budhe Nuryah?" celetuknya membuatku seketika tercengang.

"Iya. Pipinya saja makin tembem," sahut Ibu kemudian.

Aku hanya tersenyum, namun dalam batinku bergemuruh ketakutan jika mereka mencurigaiku.

"Bu, titip Fatih, ya. Aku mau rebahan dulu sebentar di kamar," ujarku pada Ibu. Bergegas menghindar meninggalkan mereka, diriku melangkah masuk rumah.

***

Aku menatap diri di depan cermin, mengelus perutku yang mulai membuncit. Tubuhku rasanya makin hari makin berisi, hingga membuatku cemas. Entah sampai kapan bisa menyembunyikan semua ini.

Setelah bertukar pikiran dengan Mas Lutfi saat di kebun, akhirnya kami berdua bertekad untuk berterus terang kepada keluarga. Segala resiko akan kuhadapi sekalipun Ayah mengusirku dari rumah. Aku merasa tidak takut karena Mas Lutfi bertanggung jawab penuh akan kehamilanku dan berniat segera melamar ke rumah.

Kuhampiri Ibu saat duduk santai di ruang tamu. Hatiku berdegup kencang.

"Bu. Imah mau ngomong sama Ibu," lirihku seraya duduk di sampingnya.

"Kenapa?"

"Ibu kenal Lutfi yang rumahnya dekat pertigaan jalan sebelah Utara itu, Bu?"

"Anaknya siapa?"

"Anaknya Bu Marfuah, adiknya Mbak Nurjanah."

"Iya tau. Lha kenapa, tho?"

"Aku mau dilamar sama dia, Bu. Besok."

"Ngawur aja, orang ayahmu belum tau."

"Soalnya, Imah udah ...."

"Pokoknya nanti dulu, tunggu Ibu kabari ayahmu kalo kamu mau dilamar."

Aku tidak melanjutkan ucapanku, tertahan dengan penolakan Ibu karena Ayah yang belum diberi kabar soal ini. Namun, entah kapan Ibu pasti segera memberitahu Ayah.

***

Telepon rumah terdengar berdering. Aku segera keluar dari kamar dan berniat mengangkatnya. Namun, rupanya Ibu telah lebih dulu mengangkatnya.

Aku sengaja menguping pembicaraan Ibu dengan Ayah melalui ujung telepon. Benar saja, Ibu menyampaikan niat Mas Lutfi yang akan melamarku.

"Jadi, Ayah gak setuju Imah dilamar Lutfi?" Terdengar jelas Ibu bertanya pada Ayah. Deg. Aku terkejut dan langsung lunglai di balik pintu kamar.

Aku segera menghampiri Ibu untuk menanyakan perihal sikap Ayah yang kudengar tidak setuju jika Mas Lutfi melamarku. Ibu menjelaskan alasan Ayah.

Tubuhku mendadak limbung, pandangan pun kabur dan berubah gelap usai Ibu mengatakan kalau Ayah tidak setuju karena sebenarnya Mas Lutfi masih ada hubungan kerabat dengan keluarga dari Ayah.

Usai siuman, aku memberanikan diri mengatakan pada Ibu bahwa diriku telah mengandung.

Plakkk!

Ibu menampar keras pipiku. Kali ini juga menggerutu panjang lebar tentang diriku. Aku hanya terdiam sedangkan Ibu tampak berurai airmata.

***

Pakdhe Imron yang diberi kabar tentang kehamilanku oleh Ibu akhirnya datang ke rumah. Ayah pun kaget mendengar kehamilanku lagi sehingga membuatnya ingin segera pulang.

Keputusan Ayah sudah bulat kalau tidak menyetujui hubunganku dengan Mas Lutfi karena masih kerabat. Hal itu yang disampaikan Ayah ketika berbicara dengan Pakdhe Imron melalui sambungan telepon.

Dadaku makin berkecamuk dan bingung menghadapi Mas Lutfi. Ibu dan Pakdhe Imron sepakat menunggu kepulangan Ayah untuk menindak lanjuti hubunganku dengan Mas Lutfi.

Aku tidak berani bertemu Mas Lutfi di kebun seperti biasanya. Perasaanku telah hancur. Angan-angan hidup bahagia bersamanya pupus jua karena Ayah tidak merestuinya. Aku juga meratapi nasib, takut melahirkan sang buah hati tanpa suami.

***

Plak! Plak!

Ayah menampar keras kedua pipiku. Aku yang menyadari kesalahan terpaksa pasrah menerima perlakuan Ayah.

Usai menghakimiku di dalam kamar mereka meninggalkanku sendirian. Buliran bening terus meleleh tanpa henti. Aku tak mampu membayangkan wajah Mas Lutfi ketika tahu orangtuaku tidak setuju.

Kudengar samar Ayah, Ibu dan Pakdhe Imron kasak-kusuk di ruang tamu. Namun, tak begitu jelas yang kutangkap di pendengaranku.

Ibu mengetuk pintu kamar dan memanggilku untuk datang ke ruang tamu.

"Besok, suruh Lutfi datang ke sini sendiri. Ayah sama Pakdhe Imron mau bicara dengannya."

Aku mengangguk pelan, lantas berpamitan untuk kembali ke kamar.

Pandanganku nanar, rasanya tak sanggup membayangkan jika besok bertemu Mas Lutfi. Aku bingung harus memulainya dari mana.

Janin di dalam kandungan mulai bergerak lembut. Kuusap pelan dan berkata lirih agar dia tenang di dalam rahim. Buliran bening pun tak berhenti meleleh.

***

Pagi ini mengumpulkan segala kekuatan untuk menemui Mas Lutfi di rumahnya. Mata yang sembab bekas tangisan semalam masih tampak jelas.

Aku langsung menghambur memeluk tubuh Mas Lutfi di ruang tamunya. Tak peduli walaupun ada sepasang mata yang bingung dengan sikapku. Mas Lutfi kemudian menuntunku masuk ke kamarnya. Lantas kutumpahkan segala tangisan di dadanya.

Aku mencoba mengawali pembicaraan ketika tangisanku mulai reda. Kutatap wajah Mas Lutfi yang memucat menanti diriku berbicara. Jantungku bergetar, rasanya tak sanggup menyampaikan pesan Ayah.

WANITA PEZINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang