Bagian 12

5.5K 85 5
                                    

Aku beringsut mundur mengetahui Nazwa berdiri memaku memandang sinis ke arahku. Mas Lutfi tidak menyadari keberadaan istrinya justru semakin mendekatiku.

"Imah! Dipanggil kok malah mundur menjauh. Aku hanya mau nitip ini untuk jajan Maira."

Mas Lutfi menyodorkan beberapa lembar uang kertas berbagai pecahan. Entah berapa jumlahnya.

"Gak mau, Mas. Udah aku mau pulang," timpalku seraya mempercepat langkah. Akan tetapi Mas Lutfi menarik lenganku hingga ember berisi pakaian yang telah jatuh ke bawah. Beruntung semua isinya tidak tumpah.

Mas Lutfi meletakkan beberapa lembar uang yang telah dilipat ke telapak tanganku. Namun, dengan sigap diriku menolaknya. Mas Lutfi terus memaksa. Karena takut Nazwa curiga, uang itu kulempar begitu saja.

"Sombong kamu, Mah! Udah cukup kali ini saja. Setidaknya kepedulianku sama anak kamu tolak," cerocos Mas Lutfi mengiringi langkahku menuju rumah.

Saat masih berada di jalan, Mas Lutfi berboncengan dengan Nazwa menyalipku yang berjalan kaki. Tatapan sinis Nazwa seakan menghunjam jantungku. Sepertinya ada rasa marah yang luar biasa.

***

Sejak kejadian sore itu, diriku memilih mengubah jadwal menuju sungai untuk mandi. Lebih awal dari biasanya untuk menghindari pertemuan dengan Mas Lutfi dan juga Nazwa.

Sang merah saga mulai merona menampakkan diri di ufuk barat. Kami bersama Budhe berada di teras menanti waktu maghrib tiba. Dari ujung jalan terlihat Mas Lutfi menuntun sepeda motornya ditemani Nazwa.

"Nazwa! Dari mana kok sepedanya dituntun?" sapa Budhe dari bawah, karena posisi jalan memang berada diatas rumah Budhe rata dengan atap.

"Dari rumah Bu Bidan, Budhe. Kebetulan baru sampai pertigaan situ, bannya bocor," balas Nazwa.

Aku pura-pura bercanda dengan Maira meskipun percakapan mereka tak sengaja terdengar juga di telinga.

"Sapa yang sakit, Wa?" tanya Budhe lagi karena Nazwa masih berdiri di bahu jalan, sedangkan Mas Lutfi tampak memeriksa roda bagian depan motornya.

"Saya, Budhe. Gak sakit sih, cuma periksa kehamilan," balas Nazwa. Seketika dada ini bergemuruh mendengar balasan Nazwa. Pipiku terasa panas.

"Udah berapa bulan?" sambung Budhe kemudian.

"Baru periksa ketahuan jalan dua bulan, Budhe. Doakan sehat, ya, Budhe."

Aku melangkah masuk dan duduk di ruang tamu bersama Humaira. Sengaja tidak ingin mendengar percakapan mereka.

Budhe tampak masuk rumah menuju dapur, menandakan percakapan mereka telah berakhir. Adzan maghrib terdengar dari langgar kecil dekat rumah. Segera diriku menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Usai menjalankan kewajiban lima waktu, aku masih menengadahkan tangan ,berdoa untuk kebaikan keluarga kecilku. Buliran bening tak terasa meleleh ketika doa-doa kuucapkan. Wajah Fatih dan Humaira hadir di pelupuk mata. Dua buah hatiku yang tidak berdosa.

***

Matahari siang ini tepat berada di pucuk kepala. Aku berusaha mencari Humaira yang sejak tadi berpamitan untuk main.

Langkahku terhenti di ujung gang depan rumah tetangga. Tampak sepasang sendal Humaira berada di depan pintu rumah itu.

"Assalaamu'alaikum ...!" sapaku.

Muncul dari balik pintu kamar, Mbak Munawaroh menjawab salamku.

"Mbak, Humaira main ke sini, ya?"

"Iya, Dek Imah. Tapi sekarang Maira tidur sama Aliya di kamar. Tadi pas mainan, keduanya sama-sama mengantuk."

"Ya udah, Mbak. Nanti aku ke sini lagi, Mbak. Yang penting Maira jelas ada di sini."

"Masuk dulu! Ada yang mau kusampaikan sama kamu, Dek Imah."

Aku melangkah masuk, kemudian duduk bersama Mbak Munawaroh di ruang tamu.

Mbak Munawaroh bercerita kalau Nazwa tidak suka bila Mas Lutfi memberi sedikit rezekinya untuk Humaira. Mbak Munawaroh memang masih kerabatku dan juga Nazwa.

Saat masih ngobrol dengan Mbak Munawaroh terdengar Aliya bangun kemudian disusul Humaira.

Humaira menghambur ke pelukan ketika melihatku. Lantas berpamitan pada Mbak Munawaroh untuk mengajak Humaira pulang.

***

Bulan berganti. Hidup tanpa seorang suami membuatku kesepian. Rasa itu tidak pernah kupungkiri saat usia masih tergolong muda.

Malam yang dingin kulalui dengan kesunyian. Terkadang mata enggan terpejam jika desiran rasa hadir menginginkan kehangatan dari seorang laki-laki. Memeluk guling menjadi pelampiasan ketika Fatih dan Humaira telah terlelap dalam tidurnya.

Aku mulai berani merawat tubuh. Seolah menandakan bahwa aku siap menjalin hubungan dengan laki-laki lagi. Tiap pagi dan sore usai mandi, bedak tipis kuusapkan di wajah, tak lupa lipstik dengan warna lembut kupoleskan di bibir.

***

Terdengar Nazwa telah melahirkan bayi laki-laki, buah cintanya dengan Mas Lutfi. Rasa sakit hati dan kepedihan yang menderaku lambat laun sirna seiring waktu. Aku lebih memilih memaafkan diri sendiri. Karena dengan rasa itu membuat batin ini serasa tenang.

Diriku juga tidak peduli lagi dengan kebencian Mas Lutfi dan Nazwa. Aku melangkah menjalani hidup bersama kedua buah hatiku. Fatih telah berusia delapan tahun sedangkan Humaira kini berusia hampir empat tahun.

Pagi ini diriku bersama teman semasa MTs pergi ke pusat kota. Sepanjang perjalanan kami bercerita, karena memang baru kali ini bertemu dengan dirinya, setelah beberapa tahun dia ada di perantauan untuk bekerja.

Saat mampir di sebuah rumah makan diriku dikenalkan seorang laki-laki yang kebetulan telah lebih dulu kenal dengan Naima. Aku bertukar nomor handphone dengannya. Baru kali ini juga diriku memegang handphone yang baru saja kubeli dari uang tabungan.

***

Hardi namanya, laki-laki teman Naima yang dikenalkan padaku beberapa minggu yang lalu.

Sejak saat itu Hardi selalu menghubungiku lewat panggilan handphone. Aku mengobrol dengannya hingga larut malam dan itu hampir tiap hari. Hardi berjanji akan mengajak bertemu ketika pulang dari perantauan.

Setiap telponan Hardi selalu memuji diriku. Entahlah itu jurus rayuannya atau memang benar seperti itu. Maklum, diriku belum mengenal lebih jauh tentang Hardi. Bertemu dengannya baru sekali saat pergi bersama Naima. Itupun tanpa sengaja.

Meskipun hanya bicara lewat handphone, Hardi rupanya mampu membuat hidupku lebih bersemangat menjalaninya. Pujian, rayuan bahkan doa selalu ia ucapkan ketika menelepon. Hingga tanpa sengaja diriku mendengar dia mengatakan kalau suka dengan diriku. Hatiku merona, anganku jadi melambung.

WANITA PEZINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang