Bagian 21

3.7K 95 7
                                    

Aku merenung sendiri seraya menatap wajah Zain yang tertidur dalam bedongan. Anak ketigaku itu tidak seperti kebanyakan bayi yang rewel tiap malam. Zain sangat anteng, hanya sekali merengek ketika haus ingin menyusu atau popoknya telah penuh dengan pipis.

Wajah Zain mirip sekali dengan Taufik, terutama matanya yang agak menyipit. Warna kulitnya pun mewarisi Taufik, begitu putih dan bersih, berbeda denganku yang kecoklatan.

Aku menganggap keputusan Ayah benar untuk kali ini. Menolak Taufik untuk menikahiku secara siri, dengan dalih dia pria beristri. Aku sendiri sebenarnya tidak ingin merusak rumah tangga orang lain. Lagi-lagi semua karena kebodohanku yang mudah tergoda nafsu.

Bersama ketiga anakku yang berbeda nasab, kami hidup. Fatih yang duduk di kelas enam SD semakin tidak terkendali pergaulannya. Aku juga tidak bisa terus memperhatikannya. Merokok dan mencoba mabok dengan mengkonsumsi obat batuk secara berlebihan. Semua memang salahku. Seorang ibu yang tidak memberikan tauladan bagi anak-anaknya. Aku sungguh sangat menyesal.

***

Zain tumbuh sehat walaupun belum pernah merasakan sentuhan ayahnya. Karena kesibukan mengurus ketiga buah hatiku, lambat laun bisa melupakan Taufik meskipun tidak sepenuhnya lupa. Aku juga enggan menghubungi, meskipun dia memberikan akses penuh untuk Zain bertemu. Alasanku karena tidak ingin menyakiti hati istrinya lebih dalam.

Sejak Ayah belum kembali merantau, lambat laun bisa menerima kehadiran Zain sebagai cucunya. Ketika ada waktu senggang, Ayah selalu menimang Zain dalam pangkuannya.

Ayah yang selalu cuek dan cenderung mendiamkan diriku, sekarang berubah. Ayah sesekali mengajak bicara walaupun sekedar basa-basi. Saat Zain menginjak usia dua bulan, ayahku kembali merantau untuk bekerja.

***

Aku mendengar selentingan Fahmi pulang dari Malaysia. Hal itu pun juga didengar Fatih, meskipun belum mengenal lebih wajah sang ayah. Maklum, saat bercerai Fatih masih sangat kecil.

Fatih berlari menghampiri diriku saat menimang Zain dalam pangkuan. Dia bercerita jika bertemu ayahnya di jalan dan tak mengenali wajahnya.

"Memangnya kamu dipanggil waktu bertemu di jalan?"

"Ada Bude Saidah yang ngasih tau, kalo yang sedang jalan dan berbaju hitam itu ayah Fatih. Terus aku digandeng Bude diajak mendekati ayah."

"Terus ketemu, ayah Fatih bilang apa?"

"Bilang Fatih udah besar dan nasehatin Fatih, kalo gak boleh ngelawan ucapan Emak. Fatih juga dikasih uang."

Fatih menunjukkan beberapa lembar uang pecahan warna biru. Kemudian Fatih mengutarakan keinginannya untuk menitipkan uang pemberian ayahnya kepada sang nenek. Aku pun menyetujuinya.

Usai maghrib diriku dibuat terkejut dengan kedatangan Fahmi ke rumah nenekku. Kusibakkan tirai jendela ruang tamu sambil menimang Zain dalam pangkuan. Humaira yang berada di rumah nenek buyutnya berlari menuju rumah dan berteriak memanggilku.

Aku bangkit dari duduk, membukakan pintu untuk Humaira. Aku melirik ke arah Fahmi yang berdiri di pagar rumah nenek dengan posisi tampak punggungnya saja. Humaira tersenyum seraya menyembunyikan kedua tangan ke belakang.

"Hayo! Ngumpetin apa?"

"Humaira punya!" ujarnya seraya menunjukkan dua lembar uang kertas pecahan warna biru.

"Siapa yang ngasih?"

"Paman yang di rumah Uyut itu."

Humaira mengarahkan telunjuknya ke rumah nenek. Ternyata Fahmi yang memberi uang. Aku kembali duduk di ruang tamu dan diam-diam memperhatikan mantan suamiku yang sedang mengobrol dengan nenek dan sebagian tetangga yang mengerubunginya.

Humaira yang duduk di sebelahku terus bertanya mengenai Fahmi. Aku pun menjelaskan pada gadis kecilku tersebut. Seolah mengerti Humaira selalu mengangguk.

Fahmi sesekali menoleh ke arah rumah Ibu di mana diriku bersama anak-anak kembali tinggal di sini. Pelan menggeser tirai jendela agar aksi mengintipku tidak ketahuan Fahmi. Sangat memalukan jika kepergok nantinya. Zain yang tertidur di pangkuan segera kupindah ke kamar.

Humaira yang baru saja kutinggal membaringkan Zain di kamar, sudah tidak ada di tempat. Suaranya terdengar kembali berada di rumah nenek. Fatih justru tidak terlihat di sana. Entah ke mana perginya anak itu.

***

Satu minggu Fahmi berada di kampung halaman, membuat tetangga membujukku untuk rujuk dengannya. Aku dengan tegas menyatakan tidak mau. Menurut kabar yang singgah di telinga, Fahmi telah beristri lagi dan mempunyai dua orang anak perempuan. Namun, saat pulang ke kampung halaman, istri dan anak tidak diajak serta. Namun, kabar itu sepenuhnya benar atau tidak, belum kumengerti.

WANITA PEZINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang