Bagian13

5.2K 75 2
                                    

Mengenal Hardi membuat hidupku semakin bersemangat. Tiap hari dihujani perhatian meskipun hanya lewat sambungan telepon atau kiriman pesan. Rasanya diriku jatuh cinta lagi.

Malam merangkak naik, kutatap wajah anak-anak yang telah terlelap. Dalam batin berdoa, semoga bisa memberikan kebahagiaan untuk mereka berdua. Handphone yang sejak tadi berada di samping bantal tampak berdering dan bergetar, menandakan seseorang menghubungiku.

Aku tertegun menatap layar handphone. Hardi menghubungi lagi, padahal tadi siang sudah dua kali bicara lewat telepon denganku.

"Hallo, Mas!"

"Pasti nungguin telponku, ya?"

"Idih, ge er!"

"Yaudah kalo gak mau ngaku. Tutup nih!"

"Eit, jangan! Ya udah nungguin, kok."

Percakapan yang semula berisi saling canda berubah mengarah ke hal yang lebih pribadi. Kami sama-sama terpancing untuk melepaskan hasrat dalam dada melalui ucapan yang menggairahkan.

Kami segera mengakhiri percakapan melalui telepon tersebut dengan saling mengirimkan kecupan. Aku tersenyum sendiri mengingat percakapan dengan Hardi, kemudian berusaha memejamkan mata agar esok tidak terlambat bangun pagi. Saatnya menuju alam mimpi.

***

Diriku kini sedang dilanda kasmaran. Jatuh cinta dengan Hardi membuat perhatianku terhadap Fatih dan Humaira terbagi. Justru lebih memprioritaskan Hardi daripada mereka. Sehingga membuat Fatih mencari perhatian dengan perilakunya yang semakin nakal dari hari ke hari.

Fatih tiap hari bertengkar dengan sebayanya di sekolah membuat diriku sering dipanggil oleh guru pengajar dan juga kepala sekolah. Yang lebih mengejutkan Fatih membuat ulah dengan menusukkan pensil ke mata temannya. Beruntung tidak mengalami luka yang serius. Aku dilabrak orangtua temannya Fatih yang menjadi korban kenakalannya. Tudingan ibu yang tidak becus mengurus anak hingga perempuan yang hanya bisa berzina singgah di telinga membuat dada ini terasa sesak.

Saat hati dan pikiran ini lelah dengan masalah hidup, Hardi tempat satu-satunya untuk bersandar dan menceritakan segalanya yang menyesakkan dada. Hardi sangat pengertian meskipun dia belum pernah berumah tangga, bahkan sikapnya sangat dewasa.

***

Hampir tiga bulan menjalin hubungan percintaan jarak jauh dengan Hardi selama dia masih bekerja di perantauan. Bagiku tidak masalah berhubungan jarak jauh, asalkan tiap hari memberikan kabar agar batin ini tidak resah.

Baru saja menidurkan kedua buah hatiku, Hardi menelepon.

"Iya, Mas. Hallo!"

"Minggu depan, aku pulang. Jemput di dermaga, ya?"

"Gak ah. Aku takut sama orangtuamu. Belum saling kenal, soalnya."

"Gak pa pa, orangtuaku baik, pasti bisa menerimamu. Setidaknya biar mereka tau kalo aku mempunyai hubungan denganmu."

Hardi terus memaksa diriku agar mau ikut menjemputnya di dermaga. Dengan berat hati akhirnya diriku bersedia.

Usai menutup percakapan di ujung telepon, mata ini tak jua terpejam. Rencana indah membina hubungan rumah tangga dengan Hardi seolah menari-nari di pelupuk mata.

***

Matahari tepat berada di atas kepala. Terik panasnya menyengat kulit saat diriku menuju dermaga untuk menjemput Hardi. Embusan angin di jalan pun tidak terasa, hingga menimbulkan gerah di sekujur tubuh.

Hiruk pikuk pengunjung tampak menghiasi dermaga. Sudah menjadi kebiasaan jika salah satu dari anggota keluarga pergi berlayar ataupun pulang dari merantau, anggota keluarga yang lain akan berbondong-bondong menuju dermaga. Mengantar dan menjemput, aktifitas yang ada di dermaga saat ini.

Aku lebih memilih duduk di bawah pohon akasia dekat halaman parkir menanti kepulangan Hardi turun dari kapal. Orangtua dan saudara Hardi sama sekali belum kukenal. Suara kapal mulai terdengar mendekati bibir dermaga, pertanda penumpang akan segera sampai. Satu persatu pengunjung dermaga mulai mendekati tempat kapal bersandar. Sedangkan diriku lebih memilih melihat dari kejauhan.

Tampak dari kejauhan satu persatu penumpang turun dari kapal. Sedangkan Hardi belum kelihatan. Reflek sebelah tangan naik ke dahi seperti gerakan hormat menahan silau cahaya matahari seraya mengamati dari kejauhan. Sebelumnya Hardi telah mengetahui bahwa diriku menanti di halaman parkir dermaga.

Aku melihat dari kejauhan Hardi yang mengenakan atasan warna merah dan celana panjang warna hitam tampak berjalan menuju area parkir. Sosok wanita seumuran ibuku pun menggandeng erat tangan Hardi. Sepertinya itu ibunya Hardi.

Hardi tampak tersenyum setelah melihat keberadaanku. Dengan berjalan santai dia menghampiriku. Ibu dan ayah serta adik Hardi tampak heran ketika melihat Hardi menarik tanganku.

"Imah! Terima kasih, ya, akhirnya kamu mau juga menjemputku di sini. Kenalkan! Ini Ibu, Ayah dan juga adikku," sapanya membuat jantung berdegup. Apalagi ketika menatap sorot mata mereka bertiga.

"Ini siapa, Nak?" tanya perempuan yang sebaya ibuku itu kepada Hardi.

"Ini Imah, Bu. Saat ini Hardi dekat dengan Imah," jelasnya.

Ibu Hardi seketika wajahnya berubah cemberut seakan tidak suka denganku. Sadar dengan sikap ibu Hardi, diriku lantas berpamitan, meskipun Hardi seolah tidak mengizinkan pulang lebih dulu.

***

Hari ini Hardi mengajakku bertemu di pantai yang telah disepakati bersama sebelumnya. Menikmati deru ombak serta embusan angin pantai, kita berdua saling bercerita.

Tangan Hardi lembut membelai wajah dan sigap menyelipkan rambut di telinga jika angin menerbangkannya menutupi sebagian wajah. Saat Hardi menggenggam tangan, seketika raut wajah ibunya yang bertemu di dermaga hadir di pelupuk mata.

"Kamu yakin akan serius denganku yang telah mempunyai dua anak ini?"

"Yakinlah. Kenapa mendadak tanya ini lagi? Bukankah sering diriku meyakinkan hatimu?"

"Akan tetapi sikap ibumu kemarin seolah tidak suka denganku."

"Lambat laun juga nanti ibuku menerimamu. Wajar dong baru mengenal, kalo sikapnya begitu?"

"Tapi maafkan aku! Rasanya diriku mulai tidak yakin. Bukan karena rasa cintamu, tapi sikap orangtuamu."
Hardi lantas terdiam dengan ucapan yang baru saja didengarnya.

Matahari mulai naik menjelang sore, akhirnya diriku diantar pulang Hardi sampai di pertigaan jalan dekat rumah. Mata tajam para tetangga mulai sibuk menelisik kami berdua.

WANITA PEZINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang