Kepergian Fahmi membuat pikiranku serasa linglung. Perhatianku nyaris hilang untuk Fatih. Uring-uringan kerap menghampiri sikapku. Ibu jangan ditanya lagi tentang perlakuannya padaku. Tiap hari selalu menyalahkan masa laluku.Hari-hari kulalui benar-benar sendiri. Kabar yang kunanti tentang Fahmi tak kunjung tiba. Aku merasa putus harapan. Ayah yang berada di perantauan tak luput dari sasaranku untuk mencari keberadaan Fahmi. Namun, harapan itu hanyalah fatamorgana saja. Ayah bukannya mendukungku, malah justru bersyukur jika menantunya itu meninggalkanku.
Jika malam hadir menyapa, raut wajah Fahmi selalu menghiasi pikiranku. Rindu! Rasa itu selalu menghampiri. Memori tentang perbuatan tercela yang membuat nasibku jadi begini menari-nari hingga tak terasa buliran bening meleleh di kedua pipi. Rindu dan penyesalan, dua rasa yang bertentangan menghampiri hatiku.
'Mas, di mana kamu sekarang? Aku rindu. Teganya kamu meninggalkanku sama Fatih sendiri. Ingatkah, janjimu padaku waktu itu?' gumam batinku.
Fatih tumbuh menjadi anak yang hiperaktif. Kadang kewalahan sendiri jika mengasuhnya. Pada usianya menginjak dua tahun, ia telah berani menuntun sepeda BMX milik anak sepupuku di jalanan.
"Imah ...! Anakmu di jalanan tuh!" teriak Ibu ketika melihat Fatih berkeliaran di jalan yang ramai lalu lalang kendaraan.
"Tolong, ambil Fatih dulu, Bu! Aku lagi mandi." Di dalam kamar mandi kubalas seruan Ibu.
"Makanya, masih kecil jangan punya anak dulu. Di sekolahin orangtua di madrasah biar tau agama malah berbuat yang gak bener." Omelan Ibu masih sempat kudengar seiring langkahnya berlalu.
Aku masih di dalam kamar usai mandi, sebelum mengambil alih Fatih yang masih dalam penjagaan Ibu di teras.
"Pakdhe Imron! Udah lama, Dhe?" Terdengar dari kamar Ibu menyapa Kakak lelakinya yang mungkin sedang mengunjungi Nenek. Maklum, Pakdhe Imron tinggal di kampung istrinya yang agak jauh dari kampung sini.
Keluar dari kamar segera kuambil alih Fatih. Tampak Pakdhe Imron keluar dari rumah Nenek kemudian mampir ke rumah Ibu.
"Anakmu udah gedhe, ya, Mah?" sapa Pakdhe sebelum menghampiri Ibu yang telah menunggunya di ruang tamu.
"Udah, Dhe." jawabku singkat.
Pakdhe berlalu. Di ruang tamu terdengar kasak-kusuk Ibu mengadu tentang rumah tanggaku kepadanya.
"Ya udah tho, suruh cerai aja! Menantu gak ada gunanya buat apa."
Deg. Jantung berdebar, seketika dada pun terasa sesak usai mendengar pernyataan Pakdhe Imron yang disampaikan pada Ibu.
Aku lebih memilih menyingkir daripada mendengar lebih lanjut dan hati semakin pedih. Kugendong Fatih menuju rumah tetangga yang tak begitu jauh.
***
Duduk sendiri di tepi pantai menikmati semilir angin dan deru ombak. Kerinduan pada Fahmi dan desakan keluarga agar segera mengajukan gugatan cerai membuatku dilema.
Menjelang sore. Jika tak ingat Fatih yang kutitipkan sama Budhe Miyah mungkin aku masih ingin di sini.
"Lamanya? Dari mana aja, Mah?" tanya Budhe ketika melihat kedatanganku.
"Cari angin, Dhe! Oh ya, mana Fatih?"
"Tau! Tadi kayaknya diajak Nabil."
"Gak pa pa, Dhe, kalo jelas yang ngajak, soalnya Fatih kan mrusul."
Baru sejenak menunggu, Fatih dan Nabil sudah muncul di ujung gang depan rumah Budhe. Akhirnya kugendong Fatih dan mengajaknya pulang.
Saat baru sampai di depan rumah, tampak Ibu duduk di teras dengan menatapku tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
WANITA PEZINA
RomancePergaulan di luar batas membuat wanita bernama Imah hamil di luar nikah dan mengharuskan dia menjalani pernikahan dini kemudian bercerai. Hari-hari selanjutnya dia berpetualang dengan beberapa laki-laki, membuatnya terjebak dalam lubang perzinahan d...