"Mas, nanti malam ditunggu ayah dan ibu di rumah. Usahakan datang, ya!" ujarku pada Mas Lutfi yang duduk mematung.
Mas Lutfi mengangguk, tampak binar bahagia di bola matanya. Pemandangan itu malah justru membuat tangisku kembali pecah. Mas Lutfi belum tahu yang sesungguhnya akan terjadi pada pertemuan nanti. Percakapan Ayah yang kudengar kemarin, masih menjadi rahasia yang menyesakkan dada. Biarlah nanti Mas Lutfi tahu sendiri tentang keputusan Ayah.
"Kenapa justru kamu menangis lagi, Dek? Bukankah permintaan ayahmu, agar aku datang ke rumah menjadi titik awal hubungan kita selanjutnya?" tanyanya bertubi-tubi membuatku makin tak kuasa menjawab.
Aku menghambur memeluk tubuh Mas Lutfi. Rasanya beban ini tak sanggup kupikul sendiri. Mas Lutfi membalas pelukanku dengan mencium pucuk kepala. Entah, mungkin peristiwa ini untuk terakhir kalinya.
Tak ingin berlama-lama bersama Mas Lutfi, akhirnya aku berpamitan pulang. Ada rasa kasihan yang tak bisa kuungkapkan.
***
Dengan mengenakan baju koko warna coklat muda dipadu dengan bawahan sarung berwarna senada, tak lupa sebuah peci penutup kepala warna hitam, Mas Lutfi datang menemui Ayah.
Aku hanya berani melihat mereka di ruang tamu dari pintu kamar yang terbuka sedikit.
"Sudah tahu maksudku menyuruhmu datang?" tanya Ayah pada Mas Lutfi yang dari tadi menundukkan kepala.
"Maaf, belum tahu, Pak." Mas Lutfi mendongak menjawab pertanyaan Ayah.
Suasana di ruang tamu hening sejenak. Pakdhe Imron sengaja datang atas permintaan Ayah untuk ikut serta menemui Mas Lutfi.
Tampak Pakdhe Imron duduk bersebelahan dengan Ayah berhadapan dengan Mas Lutfi yang seorang diri.
"Bagaimana, Run, udah kamu sampaikan sama dia kalo gak bisa menikahi Imah?" celetuk Pakdhe Imron membuat wajah Mas Lutfi tercengang.
"Belum, Dhe, ini baru saja mau kusampaikan keburu Pakdhe datang," jawab Ayah kemudian.
Mas Lutfi masih terdiam. Dari sorot matanya tampak gelisah setelah mendengar pernyataan Pakdhe Imron. Aku sendiri tak mampu melihatnya di saat begini. Ingin berlari memeluknya lantas mengajaknya kabur entah ke mana.
"Aku minta maaf. Meskipun Imah sudah mengandung benihmu, aku gak bisa menikahkan kamu dengannya. Soalnya, kita itu masih kerabat." Pernyataan Ayah membuat Mas Lutfi tersentak kaget.
"Saya tetap ingin bertanggung jawab sama Imah, Pak, meskipun masih kerabat," tukas Mas Lutfi menimpali pernyataan Ayah.
"Ya harus tanggung jawab. Tapi ... bukan dengan cara menikahi Imah. Caranya kamu harus membayar denda akibat menghamili Imah. Kalo gak, siap-siap keluarga sini melaporkanmu ke polisi." Dengan angkuhnya Pakdhe Imron mengancam Mas Lutfi.
Aku tak sanggup lagi mendengar pembicaraan mereka. Lantas kubenamkan kepala di bantal dan mencurahkan segala tangis.
Pembicaraan masih berlanjut walaupun terdengar samar. Sesekali Pakdhe Imron dan Mas Lutfi saling menaikkan volume suaranya.
Makin lama suara mereka makin tak terdengar lagi. Kucoba bangkit dari ranjang dan mengintip di balik pintu. Rupanya Mas Lutfi telah pulang, tertinggal Ayah dan Pakdhe Imron di ruang tamu sedang kasak-kusuk masalah sejumlah uang. Entahlah, aku hanya mendengarnya samar-samar.
***
Selang tiga hari, Mas Lutfi datang lagi ke rumah memberikan sejumlah uang yang diminta Pakdhe Imron. Sejak itulah terjadi perang dingin antar kerabat.
Semakin hari pun Mas Lutfi makin menjaga jarak denganku. Aku pun tak sanggup menyalahkan tindakannya menjauhiku. Kesedihan makin menderaku saat usia kandungan makin bertambah.
Saat usia kandunganku menginjak tujuh bulan, tanpa sengaja diriku berpapasan dengan Mas Lutfi. Saat itu juga, aku berharap balasan sapa yang hangat darinya. Namun, terpaksa diriku harus menelan ludah, Mas Lutfi justru menatapku dengan bengis.
Waktu berlalu hingga pada hari di mana, aku melahirkan bayi perempuan yang mewarisi wajah Mas Lutfi. Jangankan ingin didampingi saat melahirkan, berpapasan denganku saja Mas Lutfi merasa jijik.
***
Bayi perempuan tanpa ayah itu lahir selamat atas bantuan dukun beranak yang berada satu kampung denganku. Lantas bayi kecil itu kuberi nama Humaira.
Humaira adalah cucu kedua bagi orangtuaku setelah Fatih. Saat Humaira berusia tiga bulan, ibukupun melahirkan adik ke empatku seorang bayi laki-laki. Usia kehamilan ibu selisih tiga bulan denganku.
Dalam satu rumah akhirnya ada dua tangisan bayi. Humaira tumbuh sehat seiring waktu. Mas Lutfi yang selalu kurindukan kehadirannya, tak sekalipun ingin melihat wajah darah dagingnya.
Tanpa suami mengasuh kedua buah hatiku. Fatih telah berusia lima tahun saat Humaira lahir. Waktu cepat berlalu, Humaira tumbuh menjadi gadis kecil yang sangat manis.
Mas Lutfi bekerja sebagai sopir untuk mobilnya sendiri. Mengantar penumpang pulang pergi ke pusat kota. Humaira yang telah bisa bermain berlarian pun terkadang bertemu saat Mas Lutfi membelah jalanan dalam kampung. Terkadang tetangga membujuk wajah polos Humaira agar memanggil Mas Lutfi "ayah". Saat kudengar Mas Lutfi tak merespon sapa Humaira, batinku seketika menjerit dan merasakan perih. Sebegitu dendamnya Mas Lutfi terhadapku sehingga darah dagingnya sendiri pun tak dipedulikannya.
Saat usia Humaira tiga tahun, Mas Lutfi justru menikahi anak kerabat dari garis keturunan ibuku. Ada rasa sedih dan cemburu merasuk di kalbu.
"Udah, gak usah sedih lihat Lutfi nikah sama Najwa," ujar Ibu saat diriku membaca undangan pernikahan yang ditujukan pada orangtuaku. Merana, sedih dan hati bagai tertusuk sembilu.
KAMU SEDANG MEMBACA
WANITA PEZINA
RomancePergaulan di luar batas membuat wanita bernama Imah hamil di luar nikah dan mengharuskan dia menjalani pernikahan dini kemudian bercerai. Hari-hari selanjutnya dia berpetualang dengan beberapa laki-laki, membuatnya terjebak dalam lubang perzinahan d...