Bagian 10

5.7K 85 1
                                    

Pernikahan Mas Lutfi dengan Nazwa, menciptakan rasa perih dalam batinku. Apalagi iring-iringan dari pihak keluarga Mas Lutfi melewati jalan depan rumah Budhe. Karena rumah Nazwa memang searah dengan rumah Budhe.

Aku yang tidak tahan dengan pesta pernikahannya, berhasil membujuk Humaira untuk menjauh saat pesta berlangsung. Di gubug tengah kebun duduk sambil mengamati Humaira yang bermain tanah dan dedaunan. Sesekali air mata menitik karena tak kuat menahannya.

Alunan musik yang mengiringi pernikahan mereka, masih terdengar di telinga. Meskipun jarak kebun lumayan jauh dari rumah Nazwa. Aku masih enggan beranjak dari kebun, sengaja agar resepsi usai terlebih dahulu. Baru kemudian pulang ke rumah Budhe.

Musik tak terdengar lagi, pertanda resepsi pernikahan mereka telah usai. Suara lalu lalang deru kendaraan, terdengar saat melewati jalan setapak depan kebun.

"Sayang, Humaira. Pulang yuk, Nak!" ucapku mengajak pulang.

"Bental, Mak. Maila matih mau aen hulu," jawabnya belum fasih berbicara.

Aku sabar menunggunya sejenak untuk melanjutkan bermain lagi.

Berulang kali membujuk Humaira untuk kuajak pulang. Bibirnya mencebik seolah mau menangis, terpaksa tubuh mungilnya kugendong hingga sampai ke rumah Budhe.

***

Malam menjelang. Tubuh lelahku tak mampu mengajak mata untuk terpejam. Sementara Fatih dan Humaira telah terlelap. Kupandangi langit-langit ruang tamu, tempatku tidur bersama anak-anak di rumah Budhe.

Bayangan Mas Lutfi dan Nazwa melewati malam pertama membuat dadaku sesak. Ingin rasanya menjerit dan berteriak sekeras mungkin, meluapkan segala rasa perih.

Udara dingin yang masuk lewat celah-celah pintu dan lubang angin atas jendela, membuat tubuhku kedinginan. Kedinginan akan belaian kasih sayang seorang laki-laki. Hampir dini hari, mata tak jua terpejam. Bayangan Mas Lutfi masih menari-nari di pelupuk mata, seakan enggan beranjak pergi.

'Mas Lutfi, mulai detik ini aku akan berusaha membencimu," gumamku seraya rahang ini mengeras.

Kubalikkan badan menghadap kedua anakku, memaksa mata untuk terpejam. Tidur.

***

Bunyi kokok ayam peliharaan Budhe membangunkan tidurku. Rupanya diriku dan anak-anak bangun kesiangan. Budhe yang bangun lebih dulu pun sengaja tidak membangunkan.

Aku menghampiri Budhe yang bersiap pergi ke pasar untuk membeli sayuran dan rokok untuk dijual kembali.

"Jadi dianter atau mau naik apa ke pasar, Budhe?"

"Kayaknya naik mobil e Lutfi, Mah. Tapi yang bawa temannya. Dia masih menikmati masa pengantin baru."

Dadaku seketika sesak mendengar ucapan Budhe. Buliran bening pun menggenang di bola mata.

'Jangan nangis. Tahan air matamu,' batinku seolah ada yang berbisik.

Budhe tampak menunggu mobil Mas Lutfi lewat di jalan depan rumah. Aku pun berlalu untuk membangunkan Humaira yang masih terlelap.

Dengan mata masih mengantuk, Humaira kuajak ke kamar mandi.

***

"Humaira! Udah mandi, ya? Wanginya sampai ke sini," goda tetangga sebelah rumah Budhe yang melihat Humaira keluar dari rumah, usai mandi dan berdandan.

"Mbak Fani, titip Humaira, bentar ya! Aku mau mandi dulu," teriakku meminta tolong. Bergegas masuk kamar mandi dengan handuk melilit di leher.

Di dalam kamar mandi, seketika teringat saat melakukan perbuatan zina dengan Mas Lutfi. Aku merasa jijik dengan diriku sendiri, sehingga berulang kali mengguyurkan air dari kepala hingga seluruh tubuh.

WANITA PEZINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang