Bagian14

4.9K 77 2
                                    

Wanita Pezina

Sejak Hardi pulang dari perantauan, nyaris tak ada hari tanpa berdua. Namun setiap pertemuan kami lakukan di luar kampung, seperti di pantai atau sesekali ke objek wisata pemandian air panas. Ada rasa takut jika dia harus berkunjung ke rumah atau justru mengajakku ke rumahnya.

Banyak pasang mata dan mulut yang kasak-kusuk ketika Hardi mengantar pulang usai berkencan denganku. Pandangan tak suka dan mulut nyinyir sebagian tetangga selalu menghampiri. Namun, aku tak ambil pusing. Hardi yang tidak sengaja mengamati mereka, justru tampak kebingungan.

"Hei! Kenapa?" Setengah berteriak bertanya pada Hardi yang masih berdiri di samping motor.

"Itu orang-orang pada ngapain? Lihat kita naik motor boncengan hingga turun masih saja matanya melihat kemudian saling bisik. Ada yang salah samu aku, mungkin, Mah? Hampir tiap saat setiap mengantarmu pulang," tanya Hardi seolah heran dengan mereka, bahkan sampai dia merasa kalau dirinya ada yang salah bersikap atau penampilan.

"Tenang aja! Itu gak mungkin kamu yang dibicarakan melainkan aku."

"Kamu?"

"Iya. Tau sendiri masa laluku seperti apa."

"Ya udahlah! Gak usah di pikirin kalo gitu."

Mendengar nasihat Hardi, diriku tersenyum lantas berpamitan untuk segera melangkah menuju rumah.

"Bye, bye. Makasih, ya."

Hardi mengangguk kemudian mengerucutkan bibir, menggoda seolah hendak mengecup. Terdengar mesin motornya mulai melaju meninggalkan pertigaan jalan.

***

Humaira dan Fatih saling berebut menghambur ke pelukan. Sejak Hardi pulang memang kedua anak itu kurang perhatian. Makanya saat melihat diriku di rumah, seolah ada kebahagiaan tersendiri di hati mereka berdua.

Aku mendengar mereka saling mengadu. Fatih menceritakan kegiatan di sekolah, hingga dia dihukum berdiri di depan kelas karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah pelajaran matematika. Sedangkan Humaira mengadu jika dinakali anak tetangga ketika bermain. Bahkan Humaira juga bertanya tentang keberadaan ayahnya yang selama ini memang dia belum sepenuhnya mengerti.

Warna jingga telah menghiasi ufuk barat. Namun, bias sinar mentari masih menerobos celah dinding ruang tamu. Duduk termenung di sofa bagian sudut. Diriku membayangkan segala kemungkinan baik dan buruknya berhubungan dengan Hardi. Seketika resah menghinggapi dada saat mengingat raut wajah ibunya Hardi.

Suara adzan maghrib membuyarkan lamunan. Fatih dan Humaira berlomba masuk rumah lebih dulu. Aku bangkit dari duduk, berjalan menuju kamar mandi untuk berwudhu.

Aku masih menengadahkan tangan mengucap doa. Humaira tiba-tiba bergelayut manja di bahu. Kubiarkan saja dia seperti itu seraya menyelesaikan doa. Kuraih tubuh Humaira, kemudian duduk di pangkuan sambil bersenandung shalawatan. Pelan melepas mukena setelah Humaira bangkit dari pangkuan menghampiri kakaknya yang asyik menonton TV. Aku pun mengikutinya dari belakang.

"Fatih, Sayang ... matikan tivinya dulu, Nak! Belajar dulu yuk," bujukku agar Fatih belajar. Mengingat Fatih dihukum gara-gara tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Fatih pun tanpa melawan segera memencet remote mematikan acara TV yang sedang ditontonnya.

Kudampingi Fatih belajar, sebisa mungkin menjawab pertanyaannya soal pelajaran di sekolah. Sedangkan Humaira sibuk mencorat-coret kertas kosong dengan spidol warna milik Fatih.

Dengan sabar akhirnya Fatih mau belajar meskipun banyak pertanyaan. Usai belajar Fatih segera berlari menonton acara TV lagi.

Tak terasa malam mulai merangkak naik. Usai menjalankan lima waktu meskipun terlambat, segera menghampiri kedua anakku yang telah terlelap di depan TV. Kuangkat badan Humaira, akan tetapi Fatih kubiarkan terlelap di sana.

Merebahkan badan sejajar dengan Humaira. Ingin rasanya segera memejamkan mata, agar besok bisa menyiapkan sarapan pagi untuk Fatih dan Humaira. Besok ada janji bertemu dengan Hardi lagi untuk membicarakan kelangsungan hubungan ini.

***

Fatih sudah berangkat sekolah, sedangkan Humaira masih bermain boneka sendirian. Sebelum berangkat menemui Hardi yang menjemput di pertigaan jalan, kugendong Humaira menuju rumah ibu.

"Jangan lama-lama kalo pergi! Ibu juga repot di rumah, Mah," seru Ibu ketika hendak berpamitan usai menitipkan Humaira.

"Iya, Bu. Yaudah Imah berangkat dulu."

"Pokoknya jangan lama-lama."

"Iya, iya!"

Bergegas menuju pertigaan jalan, karena Hardi telah mengirim pesan bahwasannya dia telah menunggu.

Hardi tersenyum seraya meringis di balik silau matahari yang menerpa wajahnya, ketika diriku berjalan menghampiri. Tanpa basa-basi segera menumpangi jok belakang dan melaju menuju pantai. Sekilas mata-mata tetangga kembali menelisik saat kami lewat di depan mereka.

Tak sampai setengah jam, akhirnya sampai di atas bukit yang di bawahnya sebuah pantai yang akan kami kunjungi. Hardi meletakkan sepeda motornya di tempat yang aman di bawah pohon waru yang sangat rindang. Berdua berjalan menuruni bukit yang agak curam.

Napasku tersengal-sengal begitu tiba di tepi pantai. Hardi menggenggam erat sebelah tangan, menggandeng menuju tepian pantai yang terdapat rerimbunan pohon mangrove. Kemudian duduk berdua di sebatang pohon kelapa yang roboh.

"Kamu udah bicara dengan orangtuamu lagi soal kita?"

"Belum, Mah. Belum ada waktu yang baik bicara, terutama dengan Ibu."

Bibirku seketika cemberut, ada rasa kecewa. Hardi yang kuharapkan segera berbicara dengan orangtuanya ternyata urung dilakukan.

"Jadi kapan, dong? Jangan lama-lama! Aku udah bosan dengan ocehan tetangga yang menganggapku perempuan yang suka berzina, ke sana ke mari di bawa seorang laki-laki yang tidak jelas," rengekku seraya buliran bening mulai menggenang di pelupuk mata.

"Secepatnya kalo bisa. Udah dong, gak usah nangis! Aku tuh benar-benar sayang dan tulus sama kamu," bujuknya seraya mengusap buliran bening yang telanjur meleleh di pipi.

Kusandarkan kepala di bahunya seraya menatap deru ombak. Berada di samping Hardi membuat batin ini jauh lebih tenang. Angan-angan untuk membangun rumah tangga bersamanya selalu menggema dalam dada. Namun, sesekali nyali ini ciut, ketika teringat sikap ibunya saat bertemu di dermaga.

***

Sejak pertemuan terakhir seminggu yang lalu, hari ini Hardi berjanji akan menyampaikan keputusan orangtuanya tentang hubungan ini.

Memakai rok panjang berbahan jeans dan atasan kaus lengan panjang warna senada, wajah ini begitu semringah. Ingin rasanya segera mendengar keputusan orangtua Hardi. Menerima atau justru menolakku.

Aku masih terpaku di depan cermin. Memoleskan bedak dan lipstik tipis-tipis asal menempel saja. Handphone berdering tanda ada pesan yang masuk. Segera kuraih dan membukanya. Rupanya Hardi telah sampai di tempat biasa kami bertemu terlebih dahulu sebelum berangkat berboncengan ke suatu tujuan.

WANITA PEZINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang