Bagian 11

5.5K 95 5
                                    

Rintik hujan pagi ini tak mampu mengobati jiwaku yang gersang karena rasa cinta yang tak pernah berpihak. Berawal dari Fahmi yang tidak bisa bertahan untuk mengarungi kehidupan rumah tangga, kemudian Mas Lutfi yang terpaksa menghentikan pengorbanannya karena sikap orang tuaku.

Aku berusaha tidak menyalahkan rasa cinta, akan tetapi kenapa selalu saja rasa ini tidak bermuara bebas pada tempatnya. Ada saja tabir yang menghalanginya.

Masih berdiri di bibir jendela ruang tamu. Tanah yang basah bekas rinai hujan menguarkan aroma khas yang memilukan hati. Kerinduan memeluk seseorang yang bisa saling menyayangi, menerima segala ketidakberdayaanku seolah menari-nari di pikiran.

"Emak! Emak!" teriakan Humaira memanggil diriku, membuat lamunan seolah buyar seketika.

"Ada apa, Cantik?" ucapku seraya merunduk, berjongkok di hadapan Humaira yang menenteng mainan masak-masakan yang dibelinya saat resepsi pernikahan Mas Lutfi seminggu yang lalu.

"Maila mau ain di citu, ya, Mak," rengeknya seraya menunjuk halaman yang tampak becek.

"Mainnya nanti saja, ya? Di situ banyak cacing. Sekarang main saja di sini, ya?" bujukku setelah menunjukkan kalau halaman rumah sebagian masih ada genangan air hujan.

Humaira tampak berjalan ke dapur, kemudian kembali dengan membawa sekantong plastik mainannya yang lain.

Kupandangi wajah tak berdosa Humaira yang sedang bergumam sendiri bermain boneka dan masak-memasak. Wajah manisnya adalah duplikat dari Mas Lutfi. Pantas saja, terkadang sebagian tetangga jika memanggil Humaira dengan sebutan "Dasar Lutfi Kecil" ketika melihat tingkah laku Humaira yang menggemaskan.

Sambil menunggu Humaira bermain, sesekali pandanganku beralih pada jalanan depan rumah Budhe yang tiap saat dilalui Mas Lutfi.

Baru saja membayangkannya, suara mesin mobil Mas Lutfi terdengar semakin mendekat. Pertanda Budhe pulang dari pasar.

Mobil berhenti tepat di depan rumah. Kulihat dari kaca jendela yang tembus pandang Budhe dibantu Mas Lutfi menurunkan barang belanjaannya.

"Imah! Mah! Sini bantuin Budhe dulu. Bawa masuk ini ke rumah!" teriakan Budhe membuatku terpaksa keluar dari dalam rumah.

"Yang mana Budhe?" tanyaku segera agar lekas selesai dan tidak berinteraksi dengan Mas Lutfi.

"Lutfi! Pisangnya tolong turunin dulu, biar dibawa Imah."

Budhe berteriak meminta tolong Mas Lutfi membuatku semakin sungkan berlama-lama mematung.

Satu tandan pisang disodorkan Mas Lutfi kepadaku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Akan tetapi sekilas aku melihat tatapan matanya. Tatapan mata yang semakin membenciku.

***

"Naz! Jalan mesra berdua, mau ke mana?" teriakan Budhe menanyakan tujuan Nazwa dan Mas Lutfi ketika berjalan berdua melewati depan rumah.

"Mau ke rumah mertua, Bulek Miyah." Nazwa menjawab sapa Budhe seraya melongok ke bawah, karena rumah Budhe tepat berada di bawah bahu jalan.

Aku melangkah menuju dapur. Mencoba mengintip mereka berdua melalui celah lubang angin dinding bagian dapur.

Tanganku mencengkeram kain lap yang reflek kuraih dari atas meja kompor, lantas rahang pun ikut mengeras. Melihat Nazwa dengan mesra berhenti sejenak di tepi jalan untuk mengusap dagu Mas Lutfi.

"Hei, Imah! Lagi ngintip Lutfi, ya?" Budhe menepuk pelan bahu membuatku tersentak.

Aku tak menjawab Budhe, beringsut melangkah menuju ruang tamu.

Duduk di ruang tamu seraya pikiran mengembara ke masa lalu. Tak terasa genangan buliran bening mulai menghiasi sudut mata. Andai saja orang tuaku tidak egois mungkin saja kebahagiaan rumah tangga telah terbina bersama Mas Lutfi.

Kenangan bersama Mas Lutfi sulit sekali hilang dari ingatan. Apalagi jika memandang wajah Humaira.

***

Hampir tiga bulan usia pernikahan Mas Lutfi dengan Nazwa. Usaha yang dibangun Mas Lutfi pun terlihat semakin maju. Dari menyopiri sendiri mobil untuk penumpang, juga usaha penyedia bahan bangunan yang tumbuh pesat terlihat dari banyaknya orang yang mengunjungi tokonya. Nazwa yang mengurusi usaha toko bangunan itu.

Sejak dinikahi Mas Lutfi, sikap Nazwa terhadapku semakin buruk. Mungkin pengaruh dendam suaminya terhadap keluargaku. Padahal aku dan Nazwa adalah sepupu. Sikap Nazwa tampak jelas dari tatapan matanya kala bertemu denganku.

Hari menjelang sore, warna jingga mulai menghiasi ufuk barat. Menggendong Humaira di belakang punggung sembari menenteng ember menuju tempat pemandian umum yang ada di bukit.

Setelah kurang lebih limabelas menit berjalan, sampailah di sungai yang sumber airnya untuk dipakai sebagai fasilitas  pemandian umum untuk masyarakat, jika musim kemarau tiba seperti saat ini.

Melangkahkan kaki memasuki bagian wanita. Humaira yang sejak tadi masih dalam gendongan kemudian kuturunkan. Sore ini pemandian tampak ramai sehingga aku memilih di bagian pojok kanan untuk memulai aktifitas mencuci baju sebelum mandi.

"Imah!" teriak seseorang memanggil namaku.

Aku menoleh mencari sumber suara yang memanggilku. Jamilah tersenyum seraya melambaikan tangannya. Akan tetapi bukannya membalas sapa Jamilah beringsut tatapanku beralih pada Nazwa yang sedang mencuci baju Mas Lutfi.

"Nazwa mencuci baju yang dipakai Mas Lutfi saat mencumbuku di sungai dekat kebun," batinku. Aku menghela napas lantas melanjutkan aktivitasku.

Mencuci baju dan mandi bersama usai kulakukan. Tinggal Nazwa dan Jamilah yang berada di sini.

"Milah! Aku duluan, ya!" seruku seraya keluar dari pemandian dengan kain batik yang melilit tubuh bagian dada hingga di bawah lutut. Humaira pun tak lupa dalam gendongan.

Napasku tersengal saat menaiki jalan yang agak menanjak. Saat melalui jalan setapak menuju pulang, tampak Mas Lutfi duduk di jok sepeda motor, mungkin dia sedang menanti Nazwa.

Aku berusaha menunduk saat melewati depannya. Jantungku berdebar hebat, seolah desiran cinta masih tersisa dalam dada.

"Imah!" panggilnya saat baru beberapa langkah melewatinya.

Langkahku terhenti seraya menoleh kemudian membalikkan badan.

"Ada apa? Cepetan, keburu Nazwa tau. Aku takut dikira ada hubungan denganmu lagi."

Tampak Mas Lutfi bangkit dari jok yang didudukinya kemudian berdiri merogoh saku samping celananya. Mas Lutfi menghampiriku, akan tetapi dari arah belakangnya Nazwa berdiri memandangiku dengan sorot mata tajam.

WANITA PEZINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang