Bagian 16

4.8K 86 4
                                    

Aku setengah berlari menuju rumah Ibu. Mencari Fatih dan Humaira yang belum makan siang. Sinar matahari tampak menyengat membuat kulit semu kemerahan seolah terbakar.

Ibu tampak berada di ruang keluarga seraya menikmati acara TV bersama ayah yang duduk di sampingnya. Aku pun tanpa salam segera masuk rumah.

"Bu! Humaira sama Fatih ke mana?" Ibu seketika menoleh ke arahku.

"Barusan diajak Nabil ke toko. Orang, Humaira minta jajan. Lha kenapa, tho?"

"Fatih sama Humaira belum makan, Bu."

"Emang, kamu masak apa, tadi?"

"Masak sayur bening daun kelor, goreng ikan sama tempe kesukaan Humaira, Bu."

Saat masih bicara dengan Ibu, celoteh Humaira dari luar rumah terdengar hingga ke dalam. Humaira segera menghambur ke arahku dan merengek minta pulang ke rumah Bude. Maklum, jajanan yang diminta telah dalam genggaman. Dasar Humaira! Aku tersenyum geli dengan tingkahnya.

Berdua dengan Humaira pulang ke rumah Bude. Sebelumnya aku telah berpesan sama Ibu agar Fatih juga segera menyusulku. Tiba di rumah, segera menyuapi Humaira sebelum tidur siang.

Humaira tampak terlelap dalam tidur siangnya, mungkin karena lelah bermain dan perut telah terisi. Sedangkan Fatih belum tampak dari tadi. Setelah ditunggu tak kunjung pulang, aku berinisiatif mencarinya lagi ke rumah Ibu.

"Bu, Fatih belom pulang ke sini juga, ya?"

"Orang, kata Nabil, abis jajan malah bablas main kelereng, kok. Coba tunggu sebentar! Siapa tau pulang, soalnya juga dari tadi mainnya." Tanpa membalas ucapan Ibu, akhirnya aku menunggu Fatih di sini.

Ayah yang sedang duduk di ruang tamu sambil merokok dan menikmati kopi, tampak begitu santai. Aku memperhatikan dari teras yang pintu rumah dibiarkan terbuka.

Aku menghela napas. Fatih tak kunjung pulang, padahal diriku merasa risih berlama-lama di sini. Bukan karena apa, melainkan teringat tawaran Ayah soal perjodohan dengan Hasan. Aku takut Ayah bertanya lagi tentang keputusan ini.

"Imah! Imah!" teriak Ayah dari dalam rumah sontak membuyarkan lamunanku.

"Iya, Yah." Aku bangkit dari duduk dan segera menghampirinya. Sambil duduk di karpet, sesekali aku mendongak sekilas menatap Ayah yang masih sibuk menikmati rokok. Jantung ini mulai bereaksi dengan berdetak lebih keras.

"Bagaimana jawabanmu tentang kemarin yang Ayah katakan?" Deg. Benar saja firasatku tadi. Ayah bertanya keputusanku tentang Hasan.

"Imah belom bisa beri jawaban, Yah. Masih fokus ngurus Fatih yang mulai nakal dan Humaira yang sebentar lagi masuk TK,"bantahku dengan berbohong kepada Ayah. Fatih dan Humaira jadi alibi sementara menolak halus tentang perjodohan dengan Hasan.

"Justru itu yang Ayah pikirkan. Sebentar lagi butuh biaya banyak untuk sekolah anak-anakmu, nggak mungkin orangtua ini nanggung biaya hidupmu terus."

"Tapi, Yah. Imah butuh waktu untuk berpikir lagi."

Aku bangkit dari duduk menuju kamar mandi. Pura-pura buang air kecil agar Ayah tak meneruskan membahas tentang Hasan. Usai keluar dari kamar mandi, perasaanku lega melihat Fatih datang membawa sekantung plastik kiloan berisi kelereng.

"Ayo pulang! Makan dulu!" seruku mengajak Fatih pulang. Tanpa membantah akhirnya Fatih menurut untuk diajak pulang ke rumah Bude.

***

Sejak Ayah pulang, diriku belum berani ketemuan dengan Hardi lagi. Padahal rasa rindu terasa menyesakkan dada. Maklum, telah satu minggu hanya berkomunikasi melalui pesan singkat dan panggilan telepon.

Aku tidur sendirian malam ini. Fatih dan Humaira sengaja menginap di rumah kakek dan neneknya. Malam mulai merangkak naik, akan tetapi mata ini tak jua mau terpejam. Kumainkan benda pipih dengan memencet keypad. Mengetik huruf demi huruf untuk mengirim pesan ke nomor Hardi. Seketika resah menghampiri. Mengirim pesan urung kulakukan. Iseng memencet panggilan telepon ke nomor Hardi, lantas kumatikan dengan segera.

Handphone di samping bantal berdering. Segera tangan ini meraih, melihat layar dan memencet tanda terima panggilan.

"Iya, hallo. Wa'alaikumsalam. Belom tidur juga?"

"Setengah mengantuk. Dengar hape bunyi jadi ya, melek lagi. Imah! Aku kangen."

"Sama, tau!"

"Kapan yuk, keluar ketemuan lagi?"

"Aku lom bisa keluar. Masih repot ngurus Fatih. Bagaimana ibumu? Udah bicara lagi, belum?"

"Ya udahlah. Biar rasa rindu ini berkarat. Aku belom ada kesempatan lagi bicara sama ibuku. Masih susahlah."

Sejenak aku mengerucutkan bibir. Ada rasa kecewa lagi dan lagi.

"Ya udah. Yuk tidur udah malem!"

"Iya. Selamat malam, Sayang. Mimpi Indah tentang aku, ya."

Sambungan telepon berhenti. Aku kembali merebahkan tubuh dan memejamkan mata menuju alam mimpi.

***

Siang ini udara sangat panas. Aku berusaha mengusir kegerahan dengan duduk di gazebo, berkumpul bersama para tetangga.

"Hei, Imah! Ayo rujakan, mumpung Mbak Rohma lagi bikin es kopyor," seru Mbak Ifa saat aku baru saja duduk.

"Ayuk! Emang buah buat rujakannya dah siap, Mbak? Ada petisnya, nggak?"

"Udah ada kata Mbak Rohma. Kamu yang bikin sambel, ya? Aku yang ngirisi buahnya."

"Ya udah, ayo!"

Aku mulai mengulek bahan sambal untuk rujakan, sedangkan Mbak Ifa sibuk mengiris buah-buahan. Sementara Mbak Rohma sendiri asyik ngobrol di ujung telepon dengan seseorang setelah menyiapkan es kopyor buatannya untuk kami.

"Denger-denger kamu mau dijodohin sama Hasan, ya?" celetuk Mbak Ifa di sela tangannya mengiris buah-buahan.

"Iya. Aku juga denger lho, Mah," sambung Mbak Rohmah usai melakukan panggilan telepon seraya menghampiri kami.

"Halah ... tau deh, Mbak! Aku nggak mau ngomongin itu. Males, ah!" gerutuku sedikit menahan kesal.

"Hasan itu baik, lho, Mah. Cuma kudu sabar! Dia terlalu pendiam, makanya sampai istri-istrinya yang dulu nggak kuat. Saking pendiemnya tuh orang," ujar Mbak Rohmah lagi. Padahal dalam hatiku tidak ingin mendengar tentang Hasan lagi.

"Selain pendiam, aku juga nggak suka karena penampilannya kayak orang bodo, Mbak. Terus dia itu ndeso banget." Akhirnya aku pun terpaksa berkomentar tentang ketidaksukaanku tentang Hasan.

"Mungkin kamu udah punya pacar, kali', Mah? Dulu pernah liat kamu boncengan sama cowok. Hayo sama sapa?" tanya Mbak Ifa berusaha menggodaku.

Aku hanya menjawab dengan senyuman. Dalam batinku tahu, bahwa yang dimaksud Mbak Ifa adalah Hardi. Tak terasa menjelang ashar, aku bergegas kembali ke rumah takut Humaira dan Fatih mencari.

***

Hari ini aku nekat ketemuan dengan Hardi. Kami berdua sudah tidak tahan menahan rindu. Maklum hampir dua minggu tidak bertatap mata.

Di persimpangan jalan menuju kebun kami berjanji ketemuan. Berbeda dengan tempat biasanya, sebelum berangkat ke tempat tujuan yang telah disepakati tadi malam. Aku mempertimbangkan berbagai hal, salah satunya takut kepergok Ayah jika janjian di tempat biasanya. Persimpangan jalan dekat rumah.

Aku tiba di persimpangan jalan menuju kebun dengan napas tersengal-sengal. Aku setengah berlari karena Humaira mendadak ingin ikut. Dia merengek saat kutitipkan di rumah Ibu. Sedangkan aku berpamitan ingin bertemu teman saat sekolah di kampung sebelah. Aku merasa lega karena Ayah dan Ibu tidak curiga.

Hardi tersenyum, bola matanya tampak berbinar. Mungkin dalam batinnya sama sepertiku. Ingin segera melepas rindu yang telah menyesakkan dada. Segera kami menyusuri jalanan menuju tempat wisata air terjun.

Seketika pikiranku melayang saat masih di atas kendaraan yang dikemudikan Hardi. Wajah ibunya Hardi, ayahku serta Hasan datang silih berganti di pelupuk mata.

WANITA PEZINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang