Bagian 17

4.1K 89 3
                                    

Aku dan Hardi segera mendekati area wisata air terjun. Dia menggandeng seraya menggenggam erat tanganku. Meskipun cuaca panas, angin masih bisa membelai rambutku perlahan hingga menutupi sebagian wajah dan bibir. Tempat wisata ini agak sepi pengunjung. Mungkin karena tempat wisata baru atau karena musim kemarau yang menyebabkan air terjun yang mengalir tidak begitu deras.

"Ayo turun ke sana! Kayaknya enak duduk di atas batu itu sambil bermain air. Hardi mengajakku mendekati aliran sungai di bawah air terjun.

"Males ah. Aku duduk di situ aja. Kamu kalo mau turun ... turun aja! Biar aku tunggu di sini," jawabku seraya menunjuk gazebo yang ada di tepi sungai.

"Kalo kamu gak mau nemenin, aku juga males. Yaudah, ayo duduk aja di situ berdua!"Hardi kembali menggandengku menghampiri gazebo.

Duduk berdua sambil menikmati pemandangan air terjun. Hardi sesekali menatap wajah ini, membuatku tersipu malu. Tangannya pun masih enggan melepaskan genggaman. Ketika dia memperlakukan diriku seperti ini, semakin ketakutan akan kehilangan dirinya semakin besar.

"Bagaimana? Belom bisa juga ngomong sama ibumu!" keluhku seraya mengusap kepalanya, membersihkan serpihan daun kering yang menempel di rambut.

"Belom bisa. Aku tau sifat Ibu. Semakin aku merengek, beliau juga semakin kekeh dengan ucapannya. Beri aku waktu lagi, ya, Sayang!"

"Aku nggak tau akan bisa sabar sampai di mana."

"Trus maumu, aku harus bagaimana?"

"Secepatnya ngomong sama ibumu. Atau kita lebih baik sampai di sini. Jujur, aku mencintaimu, akan tetapi aku tidak mau merasa digantung seperti ini." Seketika air mata luruh membasahi pipi.

"Jangan! Aku juga sudah telanjur mencintaimu." Hardi menggeser duduknya kemudian sebelah tangannya memeluk tubuh ini.

"Kamu tau, nggak? Ayahku pulang dari rantau ingin menjodohkanku dengan tetangga seorang duda. Berkali-kali ayah ingin mendengar jawabanku, berkali-kali juga aku berusaha mengelak. Nggak tau nanti, besok, lusa, apakah masih bisa mengelak dari ayah."

"Kamu cinta nggak sama duda itu?"

"Nggak ada rasa sama sekali di hatiku. Tapi kalo terpaksa menuruti keinginan orang tua, apa boleh buat. Menunggumu juga belum pasti. Aku nggak tau harus bagaimana lagi."

Hardi semakin mencengkeram lengan ini ketika mendengarkan diriku yang mulai putus asa dengan hubungan ini. Perlahan dia membaringkan tubuhku, sesaat kemudian tubuhnya ikut berbaring.

Tempat wisata mulai sepi. Para pengunjung satu per satu mulai meninggalkan area. Tinggal aku dan Hardi serta sepasang kekasih yang lebih memilih pacaran di tepi sungai.

Hardi tampak mengamati sekeliling, wajahnya menoleh ke segala arah. Tangannya kemudian membelai lembut wajah ini dan menyelipkan anak rambut di telinga. Wajahnya semakin mendekat kemudian mengecup lembut pipi dan beralih ke bibir. Seketika ada desiran rasa dalam dadaku. Tidak ingin desiran itu berlanjut, kudorong wajah Hardi perlahan. Aku pura-pura bangun dan duduk seperti sediakala.

Kutatap wajahnya yang bangkit dari rebahan. Tampak berwarna semu kemerahan. Antara malu dan marah, mungkin itu yang dia rasakan.

"Mungkin hubungan ini perlu jeda, agar kita bisa saling intropeksi diri!" ujarku sesaat kemudian. Entahlah! Pikiran ini seketika terlintas ide untuk melakukan jeda.

"Maksudmu?"

"Kita mungkin perlu rehat sejenak untuk hubungan ini. Agar bisa menilai apakah kita benar-benar saling cinta dan membutuhkan. Bisa jadi dengan jeda kamu bisa segera ngomong sama ibumu."

"Perlu berapa lama?"

"Cukup satu bulan. Kamu bisa berpaling dariku jika ada wanita lain yang lebih cocok untukmu selama jeda. Aku akan ikhlas." Seketika hati ini terasa perih teriris sembilu saat bibir usai berucap.

"Baiklah! Aturan yang sama juga untukmu. Jika ada laki-laki lain yang lebih cocok untukmu, kamu boleh menikah dengannya. Asal kamu bahagia, aku rela, Imah."

Kami saling bertatap mata lantas tersenyum, meskipun di dalam hatiku terasa sakit yang teramat perih.

Matahari mulai bergerak ke arah barat, segera aku dan Hardi meninggalkan area wisata ini.

***

Aku bergegas menyusul Fatih dan Humaira, setelah melakukan kewajiban lima waktu. Aku berniat mengajak mereka pulang dan tidur bersama.

Pelan memasuki rumah Ibu yang pintunya masih terbuka. Kulihat Ayah sedang ngobrol dengan Pakde Imron yang datang menjenguk nenek. Tanpa harus bertanya, ternyata Fatih dan Humaira telah terlelap di sini. Beringsut diriku segera meninggalkan rumah Ibu, agar tidak ditanya Ayah lagi soal Hasan. Apalagi ada Pakde Imron di sini. Urusan bisa jadi lebih rumit.

Aku merebahkan diri di kasur. Mencoba mengingat ide jeda berhubungan dengan Hardi. Ada rasa kecewa, sesal dan sedih yang berkecamuk dalam hati. Membayangkan wajah Hardi yang tampak kebingungan, ketika diriku menyarankan ide itu. Namun, ada perasaan lega juga. Setidaknya nanti aku benar-benar tahu kesungguhan Hardi.

Malam makin merangkak naik. Mata ini tak jua mau terpejam. Sesekali kulihat layar handphone. Ingin menghubungi Hardi, akan tetapi kita telah berjanji untuk jeda.

***

Hari ini Ayah kembali merantau ke Malaysia. Ada rasa sedih dan senang berbaur menjadi satu dalam hatiku.
Sebelum berangkat kami sekeluarga berkumpul.

"Imah! Sampai di sana, Ayah tunggu jawabanmu soal Hasan." ujar Ayah membuatku terkejut. Bagaimana tidak? Kupikir dengan kembalinya beliau merantau jadi tidak ingat hal itu lagi. Ternyata dugaanku salah.

"Iya, Yah. Inshaallah."

"Jaga Fatih sama Humaira dengan benar. Dan jangan berbuat macem-macem lagi. Intinya jangan buat keluarga malu. Oh ya, kalo bisa pulang ke sini lagi!"

Aku mengangguk pelan, akan tetapi hatiku tidak ingin kembali tinggal di rumah ini lagi. Aku takut sewaktu-waktu Ayah mengusir lagi.

"Mobil yang mau ngantar ke dermaga udah datang!" seru Bude dari luar rumah.

Kami satu per satu mencium punggung tangan dan memeluk Ayah. Seketika bola mata ini berkaca-kaca. Meskipun ada rasa benci terhadap Ayah, diriku pun sangat mencintai beliau.

Aku memutuskan tidak ikut mengantar sampai dermaga, meskipun Fatih dan Humaira ikut dengan neneknya. Diriku lebih memilih membantu membereskan rumah Ibu setelah Ayah berangkat menuju dermaga. Jika tidak ada halangan, Ayah akan pulang dua tahun lagi.

***

Sudah menginjak duapuluh satu hari tanpa berhubungan dengan Hardi, tidak lewat handphone sekalipun. Ada rasa rindu semakin menyesakkan dada. Rasa kehilangan mulai menyusup perlahan ke dalam hati. Apalagi jika menjelang malam. Bayang-bayang dirinya selalu menari-nari di pelupuk mata.

Kurebahkan diri di kasur seraya memainkan handphone. Fatih dan Humaira telah terlelap dengan alam mimpinya. Aku terkejut, saat handphone di tangan berdering. Kutatap layar ada panggilan dari nomor baru. Entah milik siapa. Meskipun ragu dan enggan, diriku tetap menerima panggilan telepon itu.

"Hallo! Iya, assalaamualaikum. Ini siapa ya?" sapaku di ujung telepon. Jelas kudengar di ujung sana, itu suara laki-laki.

WANITA PEZINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang