Chapter 5

853 39 1
                                    

Hari ini, Zee baru saja kembali dari Bandung setelah 3 hari menginap di sana untuk syuting sebuah short movie karya seorang temannya. Seminggu berlalu setelah Faiz mengatakan bahwa ia akan datang ke Jakarta benar-benar membuat pikiran Zee dipenuhi tentangnya. Entahlah, Zee juga tidak tahu apa alasannya. Intinya, Zee selalu memikirkan apakah Faiz serius akan datang ke Jakarta atau hari itu dia cuma bercanda.

"Zee, kunci mobil abang ada sama kamu?" tanya Jonathan sembari meletakkan segelas kopi di meja, lalu duduk di samping Zee yang sedang melepas lelah di sofa ruang keluarga.

"enggak. Zee ke bandung pakai mobil Zee sendiri"

"loh, jadi kunci mobil abang di mana, ya? Tolong cariin, dong, Zee"

Zee mengubah posisi duduknya, membelakangi Jonathan, ia terlalu lelah untuk melakukan apa-apa sekarang, "engga mau. Zee capek, pengen tidur, bang Jo"

"kalau mau tidur, ya ke kamarmu aja, lah. Jangan tidur di sini"

Zee tidak menggubris, ia sadar sebenarnya Jonathan masih ingin berbicara banyak padanya, tapi selama di Bandung kemarin, Zee kekurangan jam tidur, jadi ia harus membayar hutang tidurnya hari ini.

Menyadari itu, Jonathan mengusap-usap lembut rambut Zee, berharap dengan itu Zee bisa tertidur nyaman. Ia meraih handphone adiknya, seperti yang selalu ia lakukan, sekedar mengecek apa yang ada di sana, ada kah hal yang membuatnya sedih, dengan siapa ia berbincang hari ini, atau sekedar membaca pesan-pesan dari para pembaca tulisan diary Zee. Namun, baru kali ini Zee menonaktifkan handphonenya padahal sedang dalam baterai yang penuh. Setelah mengaktifkan dan menyambungkannya pada jaringan wifi di rumah, tiba-tiba ada pesan masuk dari DM instagram, Jonathan awalnya tidak ingin membukanya, tapi karena rasa penasaran karena seorang laki-laki mengirimkan sebuah foto, akhirnya ia membuka pesan itu.

Sebuah foto boarding pass. Yang dikirim sekitar 15 menit yang lalu.

"Zee?"

"hmm..."

"ada orang yang ngirim foto boarding pass di DM instagram. Dia siapa?"

Mendengar hal itu, Zee langsung membuka matanya dan sontak merampas handphone miliknya dari tangan Jonathan, rasa ngantuk berat yang ia rasakan sebelumnya menghilang seketika. Ia membaca berulang-ulang boarding pass itu, meyakinkan semuanya bahwa itu benar-benar milik Faiz.

Zee meneguk segelas kopi milik Jonathan, berlari ke lantai dua, mencuci muka dan mengganti pakaian di kamarnya secepat yang ia bisa, lalu mengambil kunci mobil yang selalu menggantung manis di samping cermin, kemudian menancap gas menuju bandara Halim Perdanakusuma.

Dalam perjalanan, sesekali Zee berdebat dengan logikanya sendiri, "ia tidak meminta untuk dijemput, Zee"

"memangnya kamu ini siapanya dia?"

"dia pasti heran ketika melihatmu"

"bagaimana kalau dia tidak seantusias dirimu untuk saling bertemu?"

Meski rasa ragu mengikutinya, tidak mengurungkan niat Zee untuk bertemu dengan Faiz, baginya ada hutang terima kasih yang harus ia bayar. Dan menurutnya, cara terbaik untuk membayar hutang itu adalah dengan menjemput Faiz di bandara, dan mengantarnya sampai ke tempat di mana Faiz akan menginap selama di Jakarta.

Sesampainya di bandara, Zee berjalan di antara keramaian orang-orang yang baru tiba dan hendak pergi. Bandara selalu menjadi tempat perpisahan dan pertemuan yang mengharukan. Di sudut sana, seorang gadis kecil memeluk ayahnya yang akan berangkat, sedang ibunya sesekali mengusap matanya, menahan sesuatu agar tidak jatuh. Sedang di sudut bagian sana, sepasang kekasih berpeluk dengan erat, melipat segala jarak yang sempat terbentang di antara mereka. Lalu di sana, seorang pemuda memakai ransel besar dan membawa sebuah karton yang entah apa isinya, seolah ia baru saja pulang dari kampung halaman dan akan melanjutkan langkahnya di tanah perantauan.

Disaat yang sama, setelah masuk di gedung bandara dan berjalan keluar, Faiz menyalakan handphone miliknya, mencoba untuk mengabari seorang teman. Dan, di tengah keramaian Halim Perdanakusuma, pandangannya mengarah ke seorang gadis bertubuh mungil yang memandanginya dari jauh. Mata mereka saling bertemu, setelah mengenali satu sama lain, Faiz yang hendak melangkahkan kakinya mendekati Zee, langsung berhenti ketika Zee justru lebih dulu berlari menghampirinya.

Peluk.

Zee memeluk Faiz. Membuang segala ragu, tidak peduli reaksi seperti apa yang akan diberikan Faiz, intinya sekarang Zee berhasil bertemu kembali dengan seseorang yang berhasil menguasai pikirannya beberapa hari terakhir, seseorang yang berhasil membuat Zee lupa dengan patah hati yang ia rasakan. Semesta memang tidak pernah mengingkari janjinya, bahwa setiap luka akan sembuh di waktu yang tepat dengan cara yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Faiz membalas pelukan Zee, pelukan seorang gadis yang berhasil membuat Faiz jatuh hati hanya dari tatapannya. Seorang gadis yang saat pertama kali bertemu dengannya, membuatnya merasa bahwa ia telah menemukan apa yang selama ini ia cari, dan harus ia jaga, selama dan semampu yang ia bisa. Dan Faiz yakin, semesta mengizinkannya.

Zee melepas pelukannya, menatap wajah Faiz, "kamu sampai kapan di sini? Lama, kan?"

"kamu jalan sendirian lagi?"

"uhm..." takut Faiz marah, Zee berbohong, "enggak, aku dianterin orang rumah. Hotelmu di mana? Biar aku anterin"

Faiz tahu sekali, Zee itu tidak pandai berbohong, matanya selalu mengungkapkan kejujuran. Bahkan dari kejujuran mata itu, Faiz menyadari ada perasaan kecil dari Zee untuknya. Dan ia merasa, ia juga memiliki perasaan itu.

"Tidak usah, saya bisa sendiri" jawab Faiz, lalu hendak melangkah pergi, menyadari seorang temannya sudah datang dan berdiri tepat selangkah di belakang Zee.

"Eits..." Zee merentangkan tangan, menghadang langkah Faiz. "Gue harus anter! Maaf, maksudnya aku harus anterin kamu! Enggak peduli kamu menolak atau gimana, soalnya aku enggak minta persetujuan kamu. Pokoknya harus aku anterin!"

Faiz tersenyum, temannya pun ikut menggelengkan kepala. Bukannya Faiz menolak saat itu, tapi ia sudah meminta temannya untuk menjemputnya, tidak mungkin ia akan membatalkan itu, membiarkan temannya pergi hanya karena Zee. Lagi pula, ia percaya, ia pasti akan bertemu lagi dengan Zee.

Karena, memang itu alasan ia datang ke Jakarta.

Faiz memberikan handphone miliknya pada Zee, "nih!"

"apa?"

"simpan nomor hpmu, saya harus menghubungimu setelah ini. Temanku sudah menjemput di sana"

Zee menoleh ke arah di mana pandangan Faiz tertuju, teman Faiz tersenyum pada Zee, namun Zee membalas dengan wajah ngambek, sembari memanyunkan bibirnya, Zee kembali menatap Faiz dalam-dalam, tatapannya seolah memaksa Faiz untuk diantar dengannya saja.

"akan saya telepon. Pulanglah" ucap Faiz lalu mengacak-acak rambut Zee kemudian pergi meninggalkannya.

Sedikit kesal, namun banyak bahagianya.

***

Sepulangnya dari bandara, Zee tidak pernah berjauh-jauhan dari handphone miliknya, takut jika Faiz mengabari namun ia tidak cepat membalasnya. Bahkan masuk ke dalam wc pun, Zee juga membawa handphonenya. Zee bahkan berubah menjadi anak paling manja, apa-apa akan meminta pada asisten rumah tangga yang selalu ia panggil dengan sebutan 'mbak' saking enggannya untuk melakukan kesibukan lain selain menunggu telepon pertama dari Faiz.

Bahkan makan malam kali ini, Zee meminta pada mbak Inah untuk membawakan makan malamnya ke kamar. Meski sangat senang tiap kali diajak makan di luar oleh Jonathan, namun kali ini Zee memilih untuk menolaknya. Dan, makanan yang dibawa oleh mbak Inah sama sekali tidak disentuhnya. Hanya sebagai alasan agar mbak Inah tidak melaporkan ke ayahnya kalau ia sedang malas makan.

Tiba-tiba, dering panggilan masuk berbunyi. Dari nomor tak dikenal. 

Zee pun langsung menerima panggilan itu.

"Halo" ucap Zee.

"Zera Zeeliana?"

TentangmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang