Chapter 6

889 39 1
                                    

Seseorang menyebut namanya di seberang sana, dan Zee mengenal suara itu.

"mas Faiz?"

"Izin lapsit, Zera Zeeliana"

"Lapsit? Apaan itu?"

"Laporan situasi. Hari ini, setelah dari bandara, saya istirahat di rumah teman. Kemudian saya ke rumah makan untuk bertemu dengan taruna-taruna lain dari korps Jakarta. Setelah itu saya kembali. Saya sudah makan. Izin, apakah Zera Zeeliana juga sudah makan?"

Zee tersenyum kecil mendengarnya, "bisa diulangi lagi, nggak?"

"siap. Tidak. Jadi, Zera Zeeliana sudah makan?"

"hmm... belum"

"yasudah"

"ha?!"

"Besok saya mau ketemu sama Zera"

"loh, mas kok enggak kayak cowo-cowo lain? Harusnya tuh mas ngajak Zee makan, atau bawain Zee makanan, atau sekedar ngingetin Zee buat makan biar enggak sakit"

Mendengar protes dari Zee, Faiz menahan tawanya. Seharusnya Faiz melakukan itu, namun baginya itu adalah hal yang paling asing−yang belum pernah ia lakukan kepada siapapun, terlebih untuk Zee, gadis kecil yang baru saja ia temui.

"mas?"

"besok ketemuan, ya?"

"di mana?"

"bisa kirim alamat rumahmu? Biar saya bisa cari tempat-tempat bagus yang tidak jauh dari rumahmu"

"iya... nanti Zee kirimin"

"yasudah. Saya tunggu. Saya matikan teleponnya, ya?"

"loh, mas! Zee nunggu berjam-jam loh buat ditelepon sama mas Faiz. Masa cuman gini doang?"

"jadi, Zee maunya apa?"

"mau ngobrol banyak sama mas Faiz"

"tapi, Zee, saya harus keluar sebentar"

Mendengar jawaban yang tidak sesuai keinginan Zee, membuatnya sedikit kesal, waktu yang ia habiskan untuk menunggu rasa-rasanya tidak terbayar penuh. Kalau saja ia bisa, ia pasti akan menahan Faiz untuk tidak mematikan sambungan teleponnya. Sayangnya, Zee tidak punya hak untuk itu. Ia sadar, Zee bukan siapa-siapa Faiz.

"yaudah, deh. Hati-hati di jalan, mas" ucap Zee kemudian menutup teleponnya sebelum Faiz yang melakukannya lebih dulu.

Zee melirik kembali makan malamnya yang masih utuh itu, ia sama sekali tidak punya selera untuk makan malam ini, ibarat sedang jatuh cinta, makan pun terasa tidak enak. Namun Zee berkali-kali membantah kata hatinya, perasaannya sudah mati, tidak mungkin ia akan jatuh lagi, terlebih pada laki-laki yang baru saja ia temui.

Perasaan mereka sudah saling terikat, hanya saja mereka masih saling menyangkal.

Diam-diam Zee turun ke dapur, sebisa mungkin agar tidak terdengar oleh mbak Inah. Ia hendak menyimpan makanannya, nanti kalau sudah mood pasti akan ia ambil kembali. Ada suara-suara orang yang sedang mengobrol dari kamar mbak Inah, pikir Zee mungkin mbak Inah sedang menonton drama di tv sambil menikmati kuaci. Mengetahui hal itu, Zee pun langsung kembali berlari ke kamarnya. Misi mengembalikan makanan, selesai.

Ia merebahkan tubuhnya ke kasur kesayangannya. Berkali-kali mencoba tidur, namun tidak bisa. Selalu kepikiran tentang Faiz. Faiz seolah menyita seisi pikiran Zee.

***

Suara dering telepon membuyarkan lamunan Zee. Ia telah duduk di depan tv hampir 1 jam lamanya, namun apa yang ia lihat di tv hanya memantul kembali, tidak dicerna oleh otak Zee. Pikirannya masih saja tentang Faiz, Faiz, dan Faiz. Sesederhana itu, Faiz telah menguasai semuanya.

TentangmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang