Zee membalas pelukan itu dengan erat, sangat erat. Ia menangis sesegukan, suara isakannya tidak lagi ia tahan, ia keluarkan semuanya, semuanya. tidak peduli orang-orang akan melihatnya, tidak peduli baju seragam Faiz akan basah. Satu hal yang kini ia rasakan, perasaan itu pulang ke rumahnya.
Faiz mendekap Zee, mengusap lembut rambutnya, lalu ia letakkan dagunya di atas kepala Zee, "Zera Zeeliana, saya sangat merindukanmu" Faiz mengulangi ucapannya untuk menegaskan kembali tentang apa yang benar-benar ia rasakan sekarang.
Zee tidak menjawab apa-apa, hanya pelukannya yang semakin ia eratkan. Bumi terasa berhenti berotasi, riuh pikuk keramaian menjelma sunyi, dan detik berjalan mundur membawa semua kenangan itu pulang, ada sebagian dari dirinya yang kembali menjadi utuh ketika memeluk Faiz, bagian yang tidak akan pernah dipahami oleh setiap orang.
"mas Faiz, maaf Zee datang kembali ke Indonesia. Zee tau mas maunya Zee ada di Melbourne saja" ucapnya perlahan.
Faiz melepas pelukannya, ia memegang kedua pipi Zee dan mengusap lembut air mata yang jatuh dari sepasang bola mata yang selalu berhasil membuatnya jatuh cinta itu. Faiz merindukan sekali tatapan itu, tatapan dari mata yang berbinar, mata yang menyimpan sesuatu yang tidak akan pernah ia temui pada sepasang mata yang lain.
"mas Faiz, kamu tau aku menyayangimu, dan kamu pun tau kalau aku maunya selalu bersamamu. Maaf kali ini aku menuruti egoku untuk pulang, karena untuk kali ini, aku benar-benar gak mau mengalah dengan jarak"
"Zee saya menyesal soal kemarin, tentang bagaimana saya mengakhiri pertemuan kita yang membuatmu sangat kesal dengan ucapan saya. Saya hanya tidak tau bagaimana cara yang baik untuk memberitahukanmu. Kalau saja saya sampai ke hotel satu menit lebih cepat, saya mungkin masih bisa menahanmu hari itu, dan membuatnya menjadi baik-baik saja sebelum kamu berangkat ke Melbourne"
"mas..."
"saya kira saya mampu berhadapan dengan jarak, sebab tadinya saya pikir jarak sesederhana itu Zee, sampai ketika jarak membuat saya menjadi kehilangan semuanya. Dan setelah kamu pergi, selama tiga bulan ini, tidak ada yang bisa saya lakukan selain bingung"
"lalu kenapa tidak menghubungiku sama sekali?"
"maaf karena selalu menempatkanmu pada sebuah penantian, Zee" jawabnya sambil menunduk, karena memang tidak ada yang bisa dia lakukan selain meminta Zee untuk menunggunya.
Zee tersenyum, "mas Faiz bisa keluar gak habis ini?"
Faiz menghela napas berat, "maaf Zee, tidak bisa. Harus nunggu pesiar dulu"
"empat hari lagi pesiar kan, mas? Zee bisa nunggu kok"
"kuliahmu?"
"tidak apa-apa, Zee sudah dapat izin" jawabnya berbohong.
Meski berbohong, dalam hati Zee sejujurnya dia memang ingin di sini saja, tidak ke mana-mana. Orang yang ada di hadapannya sekarang ini adalah rumah untuknya, ia akan selalu punya alasan untuk tetap tinggal dan menetap.
"oh iya, mas. Orang tua mas nggak datang?"
"bapak dan ibu lagi mendampingi panglima di Papua Zee, jadi tidak sempat datang"
"yah, padahal Zee juga mau ketemu ibu"
"pesiar nanti kita bisa ketemu sama ibu, kok. Oh iya, Zee ke sini bareng ibunya mas Adji, ya?"
"loh kok mas tau?"
"saya selalu tau semua tentangmu, Zee"
Zee tersenyum malu. Kemudian Faiz mengajak Zee untuk mencari tempat duduk. Mereka mengobrol banyak, tentang apa saja yang Zee lakukan selama dia di Melbourne, tentang hari-harinya, tentang rindunya dia makan seblak, tentang ice cream yang dia beli setiap harinya, dan semua tentang tugas-tugas kuliahnya. Begitu juga dengan Faiz, menceritakan apa saja yang dia lakukan selama pesiar tanpa Zee, kegiatan-kegiatan yang pada akhirnya akan selalu mengingatkannya kembali pada Zee.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentangmu
Romance"Dan hari itu, saya percaya bahwa saya telah menemukannya. Seorang gadis dengan mata yang berbinar, yang bila setiap kali menatap bola mata itu, saya percaya dunia saya ada di dalamnya"