Ch 11: Tembok Putih

10K 544 4
                                    

***

Berlari kesana dan kemari, tak ada suara yang keluar namun seseorang memegang tanganku. Ah, bukan. Seorang wanita memegang tangan dan tubuhku sengaja memberi tarian dalam kegelapan ruang tiada ujung. Dia tersenyum sesekali membacakan sutra sebelum tidur untuk anak-anak agar tak ada hantu atau makhluk jahat lain menemani.

Saat aku sudah besar setidaknya usia cukup untuk masuk Smp, dia masih rutin membacakan sutra sebelum tidur dan ketika pasutri datang lalu membawaku pergi, perlahan lantunan sutra memudar di ingatan hingga tak ada lagi syair yang mampu kuingat.

Aku merindukannya, seorang wanita baik yang sibuk mengurus anak-anak terlantar. Dia ibuku di panti. Kami sudah seperti keluarga sendiri dan memang seperti itu meski status tak tertulis. Dia sangat menyayangiku meski terkadang sebuah pertanyaan tak nyaman masih berenang, "Kenapa ya aku dibuang? Padahal saat bayi aku tak nakal, mungkin hanya menangis tapi bukankah itu hal wajar?"

Saat aku bertanya seperti ini pada ibu panti, wanita lembut itu selalu menjawab, "kamu tidak dibuang, kamu hanya dipindahkan kemari untuk diberi kehidupan baru yang lebih baik."

Yah meski begitu sama saja aku tak disayang orang tua dan keluargaku kan..

Namun itu sudah lama sekali.

Cukup lama hingga sekarang aku tumbuh lebih besar di keluarga yang bahkan kata hancur sedikit lebih baik. Aku sendiri tak tau kenapa aku diadopsi, kenapa ibu angkat begitu baik padaku dan begitu kejam pada saudara lelakiku Arvin padahal dulu sebelum ayah meninggal, semua baik-baik saja.

Ahh..

Ternyata hari itu Arvin membongkar semuanya..

Jadi tak ada alasan aku diadopsi, mungkin hanya formalitas karena ibu tak mau berhubungan sex dengan ayah, mungkin.. aku juga tak tau pastinya.

Sempat putus asa sengaja mendekati ibu yang gila malam itu, kak Arvin dengan cepat menarikku kan? Iya kan? Kalau tidak pasti itu menjadi waktu terakhir menarik napas. Sejujurnya aku tak begitu ingat, semua seperti kabut mimpi buruk menakutkan yang akan hilang saat aku membuka mata. Ayo terbukalah mataku..

"Sadar?"

Memangnya aku tak sadar?

Memangnya aku sangat rendah sampai membuat orang yang begitu mencintaiku menangis sambil menggenggam tanganku sekarang, terus mengucap sutra permohonan semalaman penuh agar seorang lelaki penuh luka diatas ranjang rumah sakit ini sadar?

Arvin tau dia sering melanggar aturan sutra namun dalam hati yang terdalam dia masih percaya adanya sesuatu yang lebih tinggi dan malam ini seperti melihat sesuatu yang tak pernah dipikirkan sebelumnya, Arvin benar-benar menangis memohon agar Raka segera sadar. Meski doktor mengatakan ia akan segera siuman tapi itu tiga hari yang lalu, tak ada yang bisa tenang termasuk Iva yang rela mengambil cuti lebih awal.

"Arvin, kau tidak tidur selama dua hari. Istirahatlah biar aku yang menjaga Raka."

"Aku baik-baik saja."

"Kalau begitu setidaknya makan, Raka akan sedih jika melihatmu seperti ini." Ujar Iva pelan, tak ada sedikitpun nada memaksa disana.

Bukannya Arvin sama sekali tidak makan, tentu ia sudah mengisi perut namun hanya sedikit. Soal tidak tidur, memang benar ia tak melakukan itu tiga hari dua malam. Pikirannya tak bisa tenang meski dua jam memejamkan mata tapi sama sekali tak ada ketenangan disana.

My Big Bro! (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang