Tiga Puluh Satu

3.6K 200 6
                                    

“Dek, Makan dulu.” ujar Mamanya menarik selimut yang menutupi tubuh Nera.

Hening tidak ada suara Nera menyaut bahkan bergerak saja tidak, yang terlihat hanya bahunya yang naik turun.

“Keluarin, gak bagus nangis ditahan dek. Gapapa Mama ngerti.” Nera menggeleng, sudah merespon.

“Mama bakal bantu ngomong sama Papa, tunggu waktunya aja ya. Kita sama-sama berdoa.”

Daun pintu kembali terbuka, disana ada Kak Maya dan darah dagingnya Tea berjalan santai menuju kasur di ruang itu, menarik paksa selimut yang kembali ditutup oleh Nera.

“Dek, kamu bukan anak kecil. Makan.” Dengan segala keegoisannya, si sulung dengan sifat otoriternya memaksa semua kehendaknya. Dulunya dia sering dimanja, nyaris semua permintaan dikambulkan, bahkan sampai memutuskan menikah mudapun orangtua mereka tidak keberatan. Dan sekarang karna keputusan tololnya itu, karena cinta gilanya, karena dia dan mantan suaminya itu Nera harus terjebak dengan kondisi seperti ini. Tidak direstui.

Nera bangkit, menatap nyalang tapi matanya masih berkaca-kaca “Apa? kamu disuruh makan, bukan lihatin aku gitu.”

“Bukan anak kecil teteh bilang?” tawanya nyaring dibuat-buat.

“Justru yang anak kecil itu teteh.” Tunjuknya, “Gara-hara keputusan bodohmu dulu aku yang harus kenak imbasnya. Kenapa semua aku hah? Kenapa harus ada batasan untuk aku? Kenapa harus semua keinginanmu yang harus dituruti? Kuliah, tamat, langsung menikah, suami berselingkuh, cerai. Dan gara-gara perceraianmu, karena pilihan tololmu itu aku terseret dalam situasi seperti ini. Teteh pikir aku mau gini? Maaf Ma, nafsu makanku udah hilang. Kalian boleh pergi.”

Klepak

“Maya!!” jerit Mamanya histeris.

“Terus, tampar aku. Sakiti aku dua-duanya hatiku sekaligus fisikku.”
Keduanya terlibat adu mata, Tea yang melihatnya langsung menangis histeris berlarian kepelukan Ontinya—Nera.

“Maya, keluar kamu.” Titah Mamanya tegas.

“Iya aku bodoh, bodoh karena dulu aku harus cepat-cepat memutuskan menikah dan bercerai. Tapi aku juga gak mau kejadian ini. Aku juga sakit, jadi berenti kamu salahin aku.”

“Maya, Mama bilang kamu keluar. Bawa Tea.”

Setelah Maya dan Tea keluar, Nera masih terisak dijebak kebimbangan, dia tau persis kalau kakaknya juga korban, takdir itu begitu kejam, tidak ada satupun wanita di dunia ini yang rela dimadu oleh suaminya. Tapi seandainya dulu, kakaknya tidak terlalu cinta buta, dan memilih pria yang salah, takdir itu tidak akan singgah dikeluarganya.

Mamanya meraih punggung Nera, memeluk puteri bungsunya menyalurkan kedamaian “Dek, Mama gak bermaksud belain tetehmu. Tapi kamu harus paham, itu semua udah jalannya. Allaah udah nentuin takdir kita.”

“Dek, Cakra nelpon.” Mamanya menyodorkan benda pipih itu kepada pemiliknya, mengizinkan mereka untuk berbicara berdua saja, tanpa harus terganggu dengan kehadiran beliau.

“Assalamualaikum.” Jawab Nera duluan dengan suara yang parau setelah menangis berjam-jam.

“Waalaikumussalam. Maaf ya aku lama nelponnya.” Nera menggeleng, mengabaikan segala tanya apa yang dilakukan pria itu sehingga lama menelponnya.

“Jangan nangis terus. Mata kamu bengkak, nanti sama temenmu diketawain loh.”

“Udah makan?” tanyanya lagi.

“Belum.”

“Makan dulu ya. Nanti kamu sakit.”

“Jangan tinggalin aku.”

Independent of Love (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang