Jika ada yang menganggap ini kesempatan, bisa jadi, atau jika ada yang menganggap ini sebuah keberuntungan, mungkin juga iya. Jelasnya Cakra hanya menjalankan sumpahnya sebagai dokter, menjadi perantara kesehatan seseorang atas izin Tuhan, tidak peduli hubungan sosial, latar belakang, atau masalah lainnya.
Doanya masih sama, semua pasien yang ditanganinya diberi kesehatan, termasuk Om Wawan—Papa dari wanita yang amat ia cintai. Niat kedatangannya yang ingin terus meyakinkan dan berjuang terjeda karena Om Wawan sendiri sakit. Matanya terpejam, suhu tubuhnya panas.
“Papa kamu gapapa.” Rasa cemas tetap menghampiri Nera walau saat ini dia dan sang Ayah masih berseteru, tapi siapa yang senang melihat cinta pertamanya jatuh sakit.
Nera mengangguk, dia percaya Cakra, pria pilihannya pasti sudah melakukan yang terbaik. Papanya juga kuat lebih kuat dari baja terkuat sekalipun.
“Besok pagi aku harus balik,” Cakra mengehembuskan nafasnya panjang, bersender di bahu kursi “Untuk sementara aku disana, kamu tetap disini.” Jeda beberapa detik, “sampai aku benar-benar bisa mendapatkan restu Papa kamu.”
Nera memejamkan matanya menghalau sesak yang berkecamuk di dada, awalnya dia berencana untuk tetap kembali ke Jakarta tidak mengacuhkan kecaman dari Papanya, tapi kalau begini keadaannya tidak mungkinkan Nera tetap kokoh untuk kembali bekerja di Jakarta, sementara waktunya selama ini tersita dengan kehidupannya sendiri. Untuk urusan pekerjaan, nanti akan dibicarakan langsung dengan Pak Gatot—Bosnya.
Separuh hatinya juga ingin menahan Cakra untuk tetap disini, bersama. Tidak enak berjuang direntang jarak, tapi mau bagaimana. Cakra harus bertugas, banyak nyawa bergantung padanya, banyak kebahagiaan yang bisa tercipta karena dirinya. Ada lebih dari puluhan orang yang harus diutamakan daripada dirinya sendiri.
“Al…” yang dipanggil menoleh, “Kamu baik-baik aja ya.”
“Nanti aku bakal usahain untuk tetap kesini, pulang kerja.” Katanya mencengkram tangan Nera. Berdua mereka menikmati bintang yang bertabur di teras rumah Nera tanpa rasa simpati.
“Jakarta-Bandung jauh.”
“Enggak.”
“Jangan dipaksain, Papa cuman butuh waktu untuk ngerti semuanya.”
Cakra menggeleng, “Gapapa. Tetap harus ada usaha yang benar-benar meyakinkan.”
Lama Nera menatap, rasanya dia ingin memeluk pria ini tapi tubuhnya terlalu lemah tidak ingin beranjak dari posisi duduknya, “Jangan pernah marah sama Papa kamu ya, beliau begitu karna sayang sama kamu. Aku juga kalau ada di posisi Papa kamu pasti ngelakuin hal yang sama. Benar-benar selektif memilih pasangan hidup untuk anaknya. Gak ada orang tua yang senang lihat rumah tangga anaknya hancur, sayang.”
Mereka terdiam, larut dengan pikiran masing-masing. Sampai hening itu terpecah dengan kedatangan Mama Nera, bergabung bersama keduanya.
“Cakra, minum dulu.” Mamanya menyimpan satu cangkir teh diatas meja.
“Makasih ya nak.”
Cakra tersenyum, dimples favourite yang membuat Nera jatuh sejatuh jatuhnya dalam pesona Cakra jelas tercetak tulus disaat seperti ini, dia mengangguk “Sama-sama buk. Saya senang bisa membantu.”
“Om Wawan itu payah kalau mau dibawa ke dokter, syukurnya jarang sakit.”
Cakra masih memasang senyum terbaiknya, “Alhamdulillah ada Cakra, Ibuk senang.”
Mamanya berdiri, “Lanjutin bicaranya, ibuk tinggal dulu ya.”
“Iya buk. Makasih juga buk, untuk minumnya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Independent of Love (Selesai)
Ficção GeralSelesai Alnera Zaskia 27 tahun, berjalan 5 tahun hidupnya dihabiskan bersama kenangan sang mantan, karir cemerlang tidak selalu jalan berdampingan dengan kisah cinta yang gemilang. Antara pertemuan, jarak, dan perpisahan memberi satu kisah baru. Bag...