Delapan Belas

3.6K 210 2
                                    

Bisakah aku meminta hujan
Lalu kamu hadir seperti dulu
~~ Alnera Zaskia ~~


Semburat pagi menembus cahaya kaca ruangan kamar berbentuk persegi milik Nera. Warna kuning keemasan milik si lingkaran kokoh Matahari bersinar gagah seolah dialah raja semesta. Kedua wanita itu masih terlelap dalam mimpinya masing-masing mengabaikan bunyi alarm, suara ayam berkokok, adzan masjid yang berkumandang semua lewat ditelinga mereka.

Lelah fisik tidak sesakit lelah hati, fisik bisa sembuh dan membaik tanpa luka, tapi perasaan siapa yang tau. Sebaik baiknya luka itu masih saja membekas, begitulah kiranya hati Nera. Semalam dia bertemu mantan kekasihnya, mantan yang menjalin cinta selama 6 tahun bukan kurun waktu yang cepat terlalu banyak kenangan manis di dalamnya, tapi juga jangan lupakan kenangan buruk yang memisahkan keduanya.

Pertemuan itu seolah mengorek kisah lama, membawa pernyataan baru yang Nera tidak tau, selama ini dia menutup kemungkinan menganggap dirinya tidak lagi ada di ingatan Agam, tapi salah. Kalimat itu, singkat tapi mampu mengobrak perasaan Nera.

Sinar matahari terus menyorot di ujung mata Nera membuat gadis itu mengerjap lemah menyesuaikan cahaya yang masuk di retina hitam legam miliknya, menggeliat ke kiri melihat jam baker yang terletak di nakas menunjukkan pukul 06.55 WIB.

“Gita bangun, Kita kesiangan.” Jerit Nera yang langsung melonjat berdiri setelah melihat jam.

“Apa sih Ner.” Jawab Gita yang masih memejamkan matanya.

Kita kesiangan Git. Udah jam tujuh.” Nera menyingkap paksa selimut yang menutup tubuh Gita.

Apa?” Gita yang mendengarnya tidak lagi tidur dan langsung terduduk, berdiri kemudian lari ngacir tanpa aba aba menuju kamar mandi.

“Kuman. Lo harusnya mandi di dapur.”

“Udah lo aja, cepetan nanti telat.”


***


Dewi Fortuna memihak kepada Nera dan Gita, jalan yang cukup lengang membuat keduanya sampai di kantor tepat waktu. Meskipun nafas tersengal berlari menuju finger print benda berbentuk persegi dengan kemampuan sensor sidik jari itu adalah alat yang akurat untuk merekam kehadiran seseorang.

Sampai di lantai empat tempat mereka bekerja, sudah hampir semua temannya duduk di balik kubikel kerjanya, sebagian lagi ada di pantry, sebagian lagi entah kemana sibuk dengan pekerjaan mereka.
Jam kerja sudah dipenghujung waktu, waktunya mereka untuk mengakhiri pekerjaannya dan kembali ke rumah masing-masing. Nera dan Gita berjalan berdampingan dengan Gita yang sibuk membalas pesan singkat dari kekasihnya sedangkan Nera focus menatap pintu keluar.

Retina matanya menangkap sosok itu, degub jantungnya kencang, seperti ada aliran air yang menganak sungai di pelipis wajahnya, rasanya Nera ingin putar arah tapi sayang sosok itu sudah terlanjur melihat keberadaan Nera. Spontan Nera memegang bahu Gita sedikit menutup tubuhnya di belakang Gita namun nihil sosok itu justru mendekat dan semakin dekat. Dan itu Agam.

Pria itu tau keberadaan Nera dari daftar pengunjung pesta kemarin, tanpa menunggu waktu lama Agam langsung meluncur tepat disaat Nera pulang kerja.

“Hai.” Sapa Agam yang sudah berdiri tegak tepat di depan Nera

Sorry, Agam kan? Mau apa?” Tanya Gita yang tampak menahan emosi.

Independent of Love (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang