"Anin anak jujuh, dicintai Awoh. Anin anak jujuh, kebagaan losul. Jananlah lah lagu. Jananlah lah binung. Anin anak jujuh pasti bebuntung."
Baik Diva maupun Davin sama-sama menatap Daneen dengan dahi berkerut. Hendak tertawa, tapi mereka tak tega. Daneen baru saja bisa lepas dari sang mama setelah tadi sore terus menangis karena terjepit di antara dua buffet.
Daneen mencoret-coret buku gambar miliknya yang Davin berikan beberapa waktu lalu, karena adiknya itu mengamuk ingin buku gambar Tayo yang Davin miliki. Tak ingin adiknya menyusahkan sang mama, Davin memilih mengalah dan meminta papanya membeli buku gambar yang baru. Sembari fokus mencoret asal buku gambarnya dengan posisi tengkurap di atas karpet ruang tengah, Daneen menyanyikan sebuah lagu yang sering mamanya ajarkan dengan nada lagu pelangi-pelangi. Hanya saja, lirik lagu yang Daneen nyanyikan agak menyimpang dari lirik yang asli. Itu sebabnya kenapa Diva dan Davin kompak menahan tawa.
Sadar jika kedua kakaknya itu memerhatikannya, Daneen berhenti bernyanyi, lalu mendongak menatap kedua kakaknya secara bergantian. "Apa liat Anin? Anin lho bitin gabal Tayo. Belum sesai. Nanti balu liat," lalu kembali bernyanyi dengan lagu yang sama seperti sebelumnya.
"Anin anak jujuh, dicintai Awoh..."
"Anin, Sayang. Bukan gitu lagunyaaa. Sini ya Aa' ajarin. Anin ikutin." Davin yang tak tahan mendengar nyanyian tak jelas dari sang adik, memutuskan untuk mengajarinya. Davin membenarkan posisi duduknya dengan melipat kaki di atas karpet berbulu, lalu mulai bernyanyi. "Jadi anak jujur, dicintai Allah. Jadi anak jujur, kebanggan Rasul. Janganlah kau ragu. Dan janganlah bingung. Jadi anak jujur, pasti beruntung."
"Ih, kata mama tuh butan dituuu... Anin tadi yang benel. Aa' salah. Aa' endak benel ituuu... Aaah. Anin ndak mau gabal!" marah bocah gendut itu. Buku gambar Tayo pemberian Davin dilempar begitu saja. Melayang hingga mengenai buffet televisi. Davin ditatap tak suka dengan bibir mengerucut sebal.
Diva menghela napas. Adiknya, Davin, diberi tatapan peringatan. Seharusnya Davin tak usah mengoreksi nyanyian Daneen disaat seperti ini. Jika Daneen mengamuk saat tak ada papanya seperti ini, bisa gawat. Bisa jadi Daneen akan kembali merecoki sang mama yang tengah tak berdaya di dalam kamar sana.
Davin menggaruk belakang kepalanya. Buku gambar Daneen diambil kembali dan diberikan pada adiknya secara baik-baik. "Anin gambar lagi, ya? Aa' minta maaf tadi. Aa' yang salah ternyata. Ini, lanjutin gambarnya, ya? Nanti kasih liat ke papa. Pasti papa suka sama gambarnya Anin nanti tuh."
"Endak mau! Anin mau main sama mama aja!"
Daneen siap berdiri, tapi Diva segera mencegah. Adiknya itu ditarik lalu didudukkan ke atas pangkuannya. Gadis beranjak remaja itu harus menghentikan kegiatannya dalam mengerjakan PR. "Eh, Danin mau liat Kak Diva gambar little pony, nggak?"
Bocah gendut itu mendongak, menatap kakaknya dengan kedua alis saling bertaut. "Apa tu tetel moni?"
"Bukan tetel moni. Little pony. Itu loh yang biasa Danin tonton sebelum kartun Tayo. Kuda kecil terbang berwarna-warni itu. Tau?"
"Oooh... Anin tau, tau, tau. Itu yang tudanya ada lambutnya. Wana-wani. Suka Anin, tuh. Ayo Tak Ipa gabal. Anin mo liaaat..." Daneen mencak-mencak di atas pangkuan Diva dan membuat kakaknya itu kewalahan menahan bobot besar tubuhnya.
"Iya, iya. Kakak gambar, ya? Danin duduk dulu di sini. Danin berat. Kakak nggak kuat pangku lama-lama."
Menyengir, Daneen tak pernah mempermasalahkan apapun keluhan orang lain terhadap tubuhnya yang besar. Tapi, Daneen tak mau disalahkan karena dia merasa dirinyalah yang paling benar. Hanya mama dan papanya yang boleh menyalahkannya.
Diva berucap syukur dengan nada pelan karena Daneen berhasil ia cegah untuk mengganggu mamanya disaat papanya belum tiba di rumah.
🍼🍼🍼
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kiddos (Tamat)
General FictionBagaimana jika orang pelit dan tak peka seperti Arkan Mikail dihadapkan pada tingkah anak-anaknya dengan karakter yang berbeda? Menjadi orangtua dari dua anak angkat dan satu anak kandung bukanlah sesuatu yang mudah. Merawat satu anak seperti Danee...