4

9.5K 1.1K 138
                                    

"Hari ini Danin nemenin nenek di rumahnya, ya?"

Keputusan yang Arkan buat semalam tak mampu Dhara bantah. Saat Arkan menyiapkan Daneen, Dhara pura-pura tidur dan tak berniat mengantar kepergian anak dan suaminya. Sifat keras kepala yang wanita itu miliki kembali muncul, setelah sebelumnya sempat Arkan jinakkan.

Arkan tak mengerti. Entah karena memang pembawaan janin dalam kandungan wanita itu, sehingga mood-nya suka berubah-ubah atau hanya karena masalah Daneen?

Entahlah.

Padahal Arkan sempat bernapas lega ketika Dhara bersikap manja padanya beberapa waktu terakhir. Tapi, pagi ini suasana yang dirasa tak sehangat biasanya. Arkan juga tak berniat mengganggu nyenyak tidur sang istri.

"Napa? Nenek satik? Satik apa? Kakek mana? Endak teman nenek, ya? Napa?" Pertanyaan bertubi itu Daneen layangkan pada sang ayah yang kini sibuk menyapu minyak telon ke area perut dan dadanya.

Mereka tengah bersiap. Tubuh Daneen hanya di lap sedikit, karena suhu tubuh anak itu masih agak hangat.

Seperti biasa, ocehan putri kecilnya itu cukup membuat Arkan geleng-geleng kepala. Bahasa yang digunakan masih amburadul, bahkan semakin menjadi saja.

Ah, apakah Arkan harus memasukkan Daneen ke sekolah saja? Setidaknya di sana anaknya akan mempunyai teman dan juga pendidikan yang baik. Yah, meskipun Arkan tahu bahwa pendidikan terbaik seorang anak berasal dari orangtuanya. Tapi, jika kondisi Dhara seperti saat ini, dan dirinya yang sibuk tanpa jeda, sepertinya pendidikan di sekolah cukup membantu.

"Papa?"

"Eh? Iya." Arkan tersadar dari segala pemikirannya.

"Anin tanya, Papa ndak nomong-nomong." Gadis kecil itu mengerucutkan bibir merah mudanya.

"Enggak. Nenek nggak sakit. Cuman Danin temenin nenek aja. Nenek sendirian di rumahnya," jelas Arkan.

"Hm? Anin di lumah nenek, mama sapa temankan?" Bahkan saat dirinya sempat dimarahi sang mama semalam, Daneen tetap memikirkan keadaan sang mama.  "Ah, mama ditemankan dedek bayi ya, Pa?"

Arkan tersenyum. Sementara dalam tidur pura-puranya, Dhara mengerutkan dahi. Wanita itu berpikir, kapan Arkan memberitahu Daneen perihal kehamilannya?

Pertanyaan terakhir Daneen tak Arkan tanggapi. Gadis kecilnya itu segera dipakaikan pakaian yang ia dapat di lipatan paling atas dalam lemari anak itu. Rambut Daneen disisir sekedarnya, dikuncir sederhana, dan membiarkan poni rata bocah itu tergerai melindungi sebagian dahinya.

"Udah siap. Danin ke luar, ya? Sarapan bareng Kak Diva."

Daneen mengangguk dengan senyum  merekah. Sembari berlari, ia keluar dari kamar langsung menuju meja makan. Nasi uduk kesukaannya telah menunggu sejak lama.

Sepeninggalan Daneen ke meja makan, Arkan membereskan perlengkapan Daneen.

"Kamu nggak mau mandi sekarang?" Pertanyaan itu tertuju pada Dhara yang masih setia dengan tidurnya.

Dhara membuka mata tanpa mengubah posisi tidurnya. "Nggak. Lagi males. Kalian berangkat aja. Aku nggak bisa nganter sampai depan."

"Buburmu ada di meja makan. Nanti biar kubawa ke sini. Kamu harus sarapan." Arkan menyiapkan laptopnya untuk dimasukkan ke dalam tas. Beberapa berkas yang ia kerjakan semalam juga turut dibawa. Jika sempat lupa, maka Arkan akan disembur sang atasan untuk yang ke sekian kalinya.

Tapi, hal yang membuat Arkan heran ketika perkataan 'kamu mau saya pecat' itu terluah saat sang atasan dalam keadaan kesal, tak pernah benar-benar terealisasi. Nyatanya, sang atasan tak bisa melepas karyawan cerdasnya begitu saja.

The Kiddos (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang