9

8.5K 1.2K 249
                                    

Bibir mungil itu mengerucut sembari terus dimain-mainkan menggunakan jari telunjuknya. Daneen melangkah ke sana kemari dengan wajah menyedihkan. Ia tak punya teman di rumah nenek. Masing-masing sepupunya asyik dengan permainan mereka sendiri. Daneen tak diperkenankan untuk ikut serta, karena bocah itu pasti akan mengacaukan segalanya.

“Tak Ayaa... Tak Aya main apa?” Setelah lelah berjalan tanpa tujuan di rumah besar milik sang nenek tersebut, Daneen memutuskan berhenti di ruang tamu. Sepupunya, Aya, tengah asyik memainkan tablet bersama kembarannya, Andra, juga bersama kakak sepupu tertuanya, Ruby.
Sayangnya, pertanyaan basa-basi dari Daneen sama sekali tak mendapat tanggapan. Daneen mencoba duduk di sebelah Aya, ia berusaha mengintip hal menarik apa yang ada di benda persegi panjang yang telah mengambil alih fokus sang sepupu. Namun, belum sempat Daneen melihat layar benda tersebut, Aya menyuruhnya menyingkir karena Daneen menghalangi konsentrasinya dalam bermain.

“Main sama yang lain ajaa. Sama Una, sama Al, atau sama siapa gitu. Jangan di sini. Sini cuma untuk orang gede. Kamu masih kecil, tau.”

Senyum Daneen seketika sirna. Bocah kecil itu menatap Aya, Andra, dan Ruby yang kini kembali sibuk pada tablet mereka. Daneen memutuskan turun dari atas sofa, meninggalkan tiga orang yang mengaku telah besar itu di ruang tamu. Gadis kecil itu menghela napas lirih. Ia duduk di sofa ruang tengah, ikut menyaksikan acara berita di televisi bersama para pamannya. Kembali gadis kecil itu mendesah. Ia tersandar lemah pada sandaran sofa, dan mampu menarik perhatian Om Alif.

“Hey, Bocah. Kenapa?” tanya Alif. Agak kasar, seperti kebiasaan pria itu sejak lama. Oleh karena telah terbiasa, Daneen tak terlalu mempermasalahkan hal itu.

Pertanyaan sang paman tak Daneen pedulikan. Gadis kecil itu hanya menjatuhkan kepalanya ke lengan sofa, dan tanpa rasa sungkan kedua kakinya berusaha menggeser Alif dari posisinya. “Oom minggiiilll... Anin endak muat iniii...”

Alif melotot. Agak tak percaya jika anak dari adiknya tersebut berani melakukan hal itu terhadapnya. Selama ini, tak ada keponakannya yang berani menegur Alif karena dinilai sangat galak oleh mereka. Hanya Daneen yang berani melakukan hal itu. Sungguh luar biasa anak Arkan.
Sementara di sofa sebelah, suami dari Wiya hanya terkekeh menertawakan Alif. Arsan dan Ayash juga melakukan hal yang sama.

“Geser aja, Lif. Nggak usah ngelawan anak kecil. Sama anak kecil aja kamu itu nggak mau ngalah.” Pria dengan rambut yang hampir memutih seluruhnya itu, buka suara. Jika Ayah Andi tak melakukan itu, mungkin cucunya, Daneen, akan diomeli oleh Alif.

Berani kamu sama orang tua?” kalimat yang selalu diucapkan ketika salah satu keponakannya berani membantahnya.

Saat dikatai sudah tua, pria itu tak mau mengaku tua. Ayah Andi geleng-geleng kepala. Putranya yang satu itu cukup aneh. Ah, tapi semua putranya itu memang aneh dengan tingkat keanehan yang beragam.

Alif mengalah, meski bibirnya tak berhenti kumat-kamit tanpa suara. Ia akan membuat perhitungan dengan Arkan jika pria itu kembali dari supermarket nanti.

Berhasil mengusir sang paman dari posisinya, Daneen kembali bertingkah. Kepalanya yang pada awalnya berada di lengan sofa, merosot turun secara perlahan. Hingga kaki yang awalnya mempunyai cukup banyak ruang di sofa, kembali menyentuh paha Alif.

Alif spontan menatap kaki-kaki kecil itu dengan pelototan. “Apa lagi sekarang?”

“Oom danan di siniiii...” teriak Daneen cukup nyaring.

Mendengar teriakan itu, Dhara kontan keluar dari dapur. “Danin. Kenapa teriak-teriak gitu sama Om? Enggak boleh.”
Bibir bawah Daneen maju beberapa senti ke depan. Genangan di pelupuk matanya mulai terlihat. Tak lama menunggu, tangisan Daneen pecah. Kakek adalah orang pertama yang datang untuk menenangkannya. Sementara Dhara hanya berdiri di posisinya tanpa berniat untuk membujuk bocah itu.

The Kiddos (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang