Pagi tlah tiba. Pagi tlah tiba. Hore. Hore. Hore. Horeee...
Dari lantai dua terdengar jelas nyanyian penuh semangat dari Davin yang tengah menyiapkan dirinya sendiri untuk berangkat sekolah. Sementara dari arah dapur, Arkan hanya geleng-geleng kepala. Pikirnya, entah apa yang tengah anak itu pikirkan mengenai pagi yang kembali datang. Bocah itu tak tahu saja bahwa pagi adalah hal yang sangat orang dewasa benci, karena dengan datangnya pagi maka kesibukan mereka kembali dimulai.
Oh, ayolah. Arkan juga manusia biasa yang mulai jengah dengan kesibukan duniawi seolah tak ada habisnya tersebut.
“Anak laki-lakimu itu luar biasa, yah. Nggak pernah kenal yang namanya kesedihan. Ceriaaa terus.”
“Dia cuman belum mengenal kehidupan yang sesungguhnya. Kalo bisa, aku mau jadi anak kecil terus yang nggak pernah dibebankan dengan hal apapun di dunia ini.” Dhara menyahut sembari mengeluarkan lima butir telur dari dalam lemari es. Ia berencana menyiapkan telur ceplok dan nasi putih biasa untuk mereka berlima. Hanya masakan sederhana yang mampu wanita itu buat. Meski janin dalam perutnya telah memberikan izin untuknya beraktivitas seperti biasa, tapi tetap saja ada hal yang tak bisa wanita itu lakukan. Seperti mencium aroma bumbu dapur yang menyengat, parfum, wangi sabun, shampoo, dan aroma mencolok lainnya.
Mama Dinda pernah mengatakan, jika dengan ciri-ciri tersebut dialami Dhara, bisa jadi anak dalam kandungannya itu berjenis kelamin laki-laki.
Yah, semoga saja. Dengan begitu, Dhara tak perlu hamil ketiga, empat atau ke lima kalinya karena ia telah melahirkan sepasang anak.
Arkan hanya mengangguk beberapa kali menanggapi perkataan sang istri yang ia tahu bahwa perkataan tersebut hanyalah perkataan orang yang seolah menyerah dengan kehidupan yang dijalaninya saat ini.
“Nanti malam kita chek up, ya?” pria itu mengubah topik pembicaraan.
“Oh, masih ingat ternyata.” Dhara menyindir. “Kirain nggak bakal ingat-ingat.”
Arkan menyengir. “Ingat, dong. Kayaknya malam ini aku nggak lembur lagi. Udah berapa hari kita selalu nunda-nunda masalah yang satu, ‘kan? Dari kamu teler sampe udah sembuh gini kita belum juga memeriksa keadaan si kecil di dalam sana.” Arkan membantu membuatkan susu untuk Daneen menggunakan botol ungu merk Du-Du kesukaannya. Bahkan ketika iklan merk Du-Du itu lewat di televisi, ia akan menyanyikannya dengan lantang.
Du-Du, Du-Du, Du-Du, Du-Du... Anin hanya mau Du-Du. Anin suka Du-Du. Anin hanya mau Du-Du...
Begitu lagu yang sering ia nyanyikan ketika iklan tersebut lewat. Katanya, ia suka Du-Du karena adik bayi di dalam iklan tersebut lucu dan dia ingin adik bayi seperti di dalam iklan Du-Du tersebut.
Tapi, entahlah. Apakah adik bayi di dalam perut Dhara saat ini akan sesuai dengan permintaan Daneen atau tidak. Semoga saja. Pasalnya, jika tidak demikian, maka Arkan harus bekerja keras lagi untuk memberikan adik bayi seperti di dalam iklan tersebut.
“Bukan karena aku selalu sibuk, aku melupakan kalian dan juga si kecil di dalam sana. Aku berusaha membagi waktu untuk pekerjaan dan juga keluarga. Bukan berfoya-foya. Syukur-syukur aku masih ingat mandi, buang air, sama ibadah. Semua itu demi kalian, loh.”
Dhara memajukan bibir bawahnya, tidak mempercayai perkataan manis yang terluah dari bibir Arkan. Walau bagaimanapun, Dhara masih menyimpan rasa curiga akan kesetiaan yang pria itu koar-koarkan sejak ketika mereka rujuk itu.
“Diva udah dikasih uangnya belum?” Arkan kembali bertanya. Susu formula yang telah dilarutkan dalam air hangat kuku itu dikocok dalam botol susu.
“Belum. Uangmu udah habis emangnya? Pake uangmu itu dulu, dong.”
Arkan mendesah. Ia berhenti mengocok susu botol Daneen. “Ada. Tapi, nggak cukup. Sebagian banyak gajiku ‘kan kamu yang pegang. Aku megang separuhnya aja enggak. Mana buat belanja dapur, belanja ini dan itu, isi bensin, jajan anak-anak, belum lagi iuran bulanan Davin. Itu semua aku nggak minta uang yang kamu simpan, loh. Terus sekarang, mau bayar tagihan sekolah Diva itu mau nyolong duit darimana lagi kalo nggak nadah tangan ke kamu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kiddos (Tamat)
General FictionBagaimana jika orang pelit dan tak peka seperti Arkan Mikail dihadapkan pada tingkah anak-anaknya dengan karakter yang berbeda? Menjadi orangtua dari dua anak angkat dan satu anak kandung bukanlah sesuatu yang mudah. Merawat satu anak seperti Danee...