Semenjak peristiwa merobohkan tenda di pernikahan Tante bungsunya minggu lalu, Daneen kapok ke rumah nenek. Bahkan ketika nenek mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk penyambutan menantu baru beliau, Daneen ngamuk tak mau ke sana.
Kata Daneen kala itu, "itu kemahnya nakal, hiks. Jatuhkan Anin. Hiks. Anin ndak mau ke lumah Nenek. Anin mau pulaaang. Huaaaa ..."
Mengamuknya Daneen untuk tak mau diajak ke rumah nenek, Dhara dilanda kegelisahan. Satu sisi ia harus meladeni Daneen, sementara sisi lain ia tidak enak hati pada mertua dan keluarga besar beliau jika ia tidak hadir di acara penyambutan menantu baru di rumah tersebut.
Beruntung, mertuanya itu luar biasa pengertian. Mungkin dulu beliau juga merasakan betapa sulitnya meladeni anak banyak dan rewel seperti Daneen.
Alhasil, hanya Arkan dan Davin saja yang datang ke sana mewakili Dhara yang tak bisa bergabung.
"Uhukk uhukk!"
Dhara menghentikan kegiatannya memainkan ponsel dan menoleh ke sumber suara batuk itu berasal. Terlihat putri sulung alias keponakannya itu menuruni anak tangga lantai dua dengan penampilan kacau.
"Kamu batuk, Va?" Dhara bertanya.
Diva melangkah lesu menuju sofa ruang tengah di mana empat adiknya tengah serius menonton kartun di televisi. Gadis beranjak remaja itu duduk di sebelah sang mama, lantas membaringkan kepalanya ke paha mamanya tersebut. "Kepala Diva pusing, Ma. Sama batuk." Suaranya terdengar serak.
"Sejak kapan? Kenapa nggak bilang Mama awal-awal?" cemas Dhara. Dahi Diva diraba, "tuh panas. Pasti karena kemarin sore kamu ekstra renang. Kelamaan di air kamu, nih. Makanya demam sama batuk gini."
Dabia menoleh. Mendengar kakak kesayangannya itu sakit, ia beranjak dari duduknya di lantai, lantas melangkah terseok menuju di mana Diva terbaring di pangkuan Mama. Tanpa suara, satu kecupan di pipi, Dabia berikan untuk Diva.
Diva terkekeh. Rambut tipis Dabia diacak gemas. "Makasih Dek Bia," dan Dabia hanya menampakkan gigi lucunya sebelum berbalik ke tempat semula.
Dhara mengambil bantal sofa dan diletakkan ke bawah kepala Diva, lantas ia beranjak dari sana. "Mama perasin lemon, ya? Biar batuknya berkurang. Nanti pulang Papa dari rumah Nenek baru minum obat. Di rumah, obat demamnya habis."
"Iya, Ma."
"Dek Bia. " Dhara memanggil Dabia yang tengah serius menonton.
"Ng?" Bocah itu menoleh dengan gumaman. Mulutnya penuh oleh biskuit yang tengah dikunyah. "Jagain Kak Diva sebentar, ya?"
"Apa, Ma?" Yang dipanggil Dabia, yang menyahut malah Daneen.
"Kak Diva sakit, jagain sebentar, ya? Mama mau bikinin obat buat Kak Diva," ujarnya sambil berlalu menuju dapur.
Sama seperti Dabia, mengetahui sang kakak sakit, ia beranjak lalu mendekat. "Kak Ipa sakit apa? Napa ndak bilang Anin? Sakit napa? Kak Ipa main ujan? Jangan main ujan, Kakak. Kan Mama udah malahkan. Jadi sakit, deh. Coba Anin liat."
Diva hanya diam membiarkan Daneen berceloteh bak orang dewasa, lalu meraba dahinya. Anak itu hanya bersikap sok dewasa. Padahal beberapa saat lalu anak itu baru saja selesai konser solo karena tidak mau Papa pergi bersama A' Davin. Jika saja tadi mamanya tidak mengancam akan membawa paksa Daneen ke rumah Nenek jika terus mengamuk, konser solo itu akan terus berlanjut hingga sekarang. Bengkak matanya saja masih terlihat jelas, dan ada ingus mengering di gerbang lubang hidungnya.
Daneen itu jauh lebih cengeng dibanding adik kembarnya, dan anak yang paling hobi menjadi biang masalah.
Tak ingin membantah tuduhan Daneen bahwa ia demam karena main hujan, Diva hanya menganggukinya. "Iyaa ... Maafin Kakak, ya? Udah bandel. Jadinya sakit gini, deh. Uhukk! Danin jangan turutin Kak Diva main hujan, ya? Nan ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kiddos (Tamat)
General FictionBagaimana jika orang pelit dan tak peka seperti Arkan Mikail dihadapkan pada tingkah anak-anaknya dengan karakter yang berbeda? Menjadi orangtua dari dua anak angkat dan satu anak kandung bukanlah sesuatu yang mudah. Merawat satu anak seperti Danee...