"Ugh..."
Setiba di rumah usai menjemput dua anak angkatnya dari sekolah, Arkan terlentang di atas sofa ruang tengah begitu saja. Kedua matanya terpejam. Lengan kanannya diletakkan di atas dahi. Ia lelah, sungguh. Satu minggu tujuh hari dan 36 enam jam setiap hari ia bekerja tanpa henti. Tak di rumah dan tak di luar, tenaganya terkuras tanpa ampun. Fisik dan psikisnya sama-sama tersiksa. Ia suka bekerja, tapi jika terus menerus seperti itu ia ingin menyerah.
Namun, kembali ia berpikir, jika ia menyerah pada satu pekerjaannya, bagaimana ia akan membiayai seluruh kebutuhan keluaganya yang tak sedikit itu? Jika saja kondisi Dhara tak sedang hamil, mungkin pekerjaan rumah masih bisa wanita itu atasi. Sehingga Arkan bisa sedikit bernapas lega karena sepulang dari bekerja, ia bisa meluangkan sedikit waktu untuk mengajak anak-anaknya bermain, atau begitu tiba di rumah ia bisa langsung makan dan istirahat.
"Papa capek?" Daneen bersama botol berisi penuh susu formula itu mendekati sang ayah di atas sofa. Sedikit ruang yang tersisa di sofa, ia duduk di sana.
"Danin pijitin Papa." Arkan meminta tanpa mengubah posisinya seperti sebelumnya.
"Ng?" Mendengar permintaan sang ayah, Daneen menghentikan kegiatannya meminum susu. Napasnya sedikit terengah karena terlalu bersemangat menyedot minuman kesukaannya tersebut. "Pijit mana? Sini?"
Oh, Arkan bangga mempunyai anak pengertian seperti Daneen. Pria itu akhirnya membuka mata. Ia terkekeh ketika tangan-tangan kecil itu berusaha memijit bagian betis sang ayah. "Iya. Bagian itu. Papa capek banget, Nin."
"Capek napa?"
"Papa capek nyari uang buat kita semua," jawab Arkan. Ia paham jika tak seharusnya ia berkata demikian kepada Daneen. Tapi, kata-kata itu terluah begitu saja dari bibirnya.
"Papa dangan keja lagi aja. Papa di lumah temankan mama sama Anin sama dedek bayi."
Arkan kembali terkekeh. Tanggapan yang putri kecilnya itu mampu membuatnya tergelitik. Seandainya hidup bisa semudah itu. Uang datang tanpa perlu bekerja, mungkin ia tak akan stres seperti ini. Kehidupan manusia di muka bumi hidup makmur tanpa ada pertikaian disebabkan faktor ekonomi.
"Kita nggak bisa makan kalo nggak kerja, Sayang."
"Ditu ya, Pa?" Arkan menganggukinya. "Ah, talo begitu, Anin nanti mau keja bantu Papa. Anin nanti keja telus kasih uang buat Papa, mama, Tak Ipa, sama Aa Apin. Papa endak usah capek-capek lagi. Ya, Pa?"
Kepala gadis kecil itu diacak gemas. "Iya. Nanti kalo Danin udah gede, ya?"
"Anin udah dede, Papa," tanggap anak itu. Ia menganggap dirinya telah besar dan bukan lagi anak kecil. Padahal kenyataannya, ia masih tak bisa jauh dari mumum mamanya.
"Iyakah? Danin udah gede?"
Daneen mengangguk mantap.
"Udah gede masa ngomongnya masih belepotan? Masih mumum, masih minum susu pake botol dan kadang masih pake popok."
"Hehehe..." Daneen menyengir lebar. Ia tak marah saat sang ayah berkata demikian, karena ia tahu bahwa apa yang ayahnya katakan memang benar adanya. Kadang pada malam hari, ia masih sering pipis di celana. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hal itu Dhara masih memakaikan Daneen popok pada malam hari.
"Loh, nggak masuk lagi?"
"Papa Anin pijitin, Mama..." Daneen menjawab pertanyaan mamanya dengan cepat. Padahal Dhara bertanya pada Arkan bukan bocah kecil gendut itu.
"Sebentar lagi. Badanku sakit semua." Arkan mendudukkan tubuhnya susah payah. Ia menepuk sofa di sebelahnya. "Kamu duduk sini."
"Ngapain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kiddos (Tamat)
General FictionBagaimana jika orang pelit dan tak peka seperti Arkan Mikail dihadapkan pada tingkah anak-anaknya dengan karakter yang berbeda? Menjadi orangtua dari dua anak angkat dan satu anak kandung bukanlah sesuatu yang mudah. Merawat satu anak seperti Danee...