Dahi Arkan berkerut ketika ia tak mendapati siapapun di dalam rumahnya. Hatinya dilanda perasaan cemas tatkala pintu kamar utama dibuka, tak ada kelibat Dhara maupun Daneen di sana.
"Ra??" pintu kamar mandi dibuka, nihil.
Arkan lantas keluar dari kamar lantas mencari kelibat Bi Kulsum, namun tak juga ia temukan di manapun. Kegelisahan hati pria itu semakin menjadi. Ia berlari menelusuri setiap ruang lantai dasar, lantai dua, dan terakhir lantai tiga rumahnya. Rasa lelah mulai mendera. Seketika ia menyesal telah berprilaku tamak dengan membangun rumah sebesar itu. Jika saja bukan karena cintanya untuk sang istri, Arkan tak akan pernah mau membuang uangnya demi membangun rumah tiga lantai seperti itu.
"Orang-orang di rumah ini ke mana, sih?"
Seperti orang kurang waras, Arkan terduduk di tangga menuju lantai dua sembari mengacak rambutnya asal. Lama ia terpaku di sana, hingga kemudian ia teringat akan benda canggih yang bahkan Bi Kulsum saja punya benda itu jauh lebih canggih dari milik sang majikan sekalipun.
"Hape."
Teringat akan ponselnya di dalam kamar, Arkan berlari menuruni anak tangga, lantas mendobrak pintu kamarnya begitu saja. Ia tak peduli jika nanti engsel pintu itu akan rusak. Ia akan menggantinya nanti.
Begitu ponsel itu diambil, ia melihat ada beberapa panggilan dari Bi Kulsum dan juga... Anisa.
Lagi-lagi dahi pria itu berkerut. "Ngapain Bi Kulsum sama Anisa nelpon banyak banget gini?" Tak ingin berlengah, Arkan bergegas menghubungi Bi Kulsum kembali. Beberapa kali panggilan berusaha dilakukan, tapi Bi Kulsum tak mengangkat. Ketika jari tangannya siap untuk menghubungi Anisa, nama Bi Kulsum terpampang di layar ponsel Arkan.
"Bi,..."
"......."
"Ha?? Kenapa bisa di bawa ke rumah sakit?"
"...."
Di seberang sana, Bi Kulsum sempat mengomeli Arkan tanpa suara. Pasalnya, pria itu terlalu banyak tanya saat istrinya sendiri tengah bertarung dengan nyawa di dalam sana. Bi Kulsum sendiri kewalahan menenangkan Daneen yang terus menangis melihat sendiri keadaan sang mama dalam kondisi sekarat.
"Bi, Bibi tunggu di sana dulu, ya. Saya akan berangkat ke rumah sakit sekarang. Tolong tenangin Danin dulu."
Klik.
Tanpa menunggu balasan dari Bi Kulsum, Arkan mematikan panggilannya begitu saja. Perasaan cemasnya benar-benar menjadi kenyataan. Ia tak tahu apa yang tengah terjadi dengan sang istri. Padahal semalam dan tadi pagi kondisi wanita itu tampak baik-baik saja, atau mungkin Dhara sendiri yang tak ingin mengatakan kesakitannya pada Arkan?
"Wanita itu bener-bener keras kepala."
Arkan mengambil dompet dan juga kunci mobilnya, lalu melesat menuju rumah sakit.
***
"Bu Dhara harus dirawat di sini sampai tiba masanya untuk melahirkan, Pak Arkan. Kondisi Bu Dhara benar-benar mengkhawatirkan. Jika Bu Dhara terus mengalami kejadian yang sama, kami nggak bisa menjamin bayi-bayinya akan selamat." Dokter yang menangani Dhara mengajak Arkan bicara dalam ruangan beliau, dan mengatakan apa yang tengah terjadi pada Dhara saat ini. "Kita akan menunggu hingga usia kehamilan Bu Dhara cukup untuk melahirkan, setidaknya sampai pada minggu ke 33 kehamilan beliau. Kami harus melakukan tindakan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Bu Dhara nggak bisa melahirkan secara normal karena pre eklampsia yang beliau derita. Dan juga..." Dokter menjeda perkataan sejena, lantas menatap Arkan dengan senyum terkembang perlahan. "Bayinya nggak hanya dua, Pak. Bapak akan mendapat tiga bayi sekaligus."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kiddos (Tamat)
General FictionBagaimana jika orang pelit dan tak peka seperti Arkan Mikail dihadapkan pada tingkah anak-anaknya dengan karakter yang berbeda? Menjadi orangtua dari dua anak angkat dan satu anak kandung bukanlah sesuatu yang mudah. Merawat satu anak seperti Danee...