"Enak rotinya?"
Daneen mengangguk mantap menanggapi pertanyaan sang ayah. Enak, tentu saja. Apa Ayah tidak bisa melihat ekspresi Daneen saat menikmati roti itu?
"Habis makan roti, kita ke mama, ya. Jangan bikin ulah lagi. Kalo masih nakal, Papa bawa pulang beneran. Tinggal sama Bi Kulsum di rumah."
"Endaaak. Anin endak mau sama Bi Acuum, Papaa. Ih, Papa, nih. Bi Acum aja. Anin mo sama mamaa..." protes anak itu kesal. Ia tak suka tinggal bersama Bi Kulsum. Padahal Bi Kulsum tidak galak. Malah Bi Kulsum suka meladeni Daneen bermain. Tapi, Daneen hanya akan mau diasuh Bi Kulsum jika ada mama di rumah. Jika mama pergi, tentunya Daneen juga harus ikut bersama mama.
"Makanya, janji sama Papa untuk nggak nakal atau nangis lagi di ruangan dokter. Mama lagi diperiksa itu. Kalo Danin ganggu, dokternya nggak bisa periksa mama. Danin mau mama sakit terus?"
"Endak mau. Anin endak nakal, koook."
Arkan berdecak. Putri kecilnya itu selalu tak mau disalahkan. Padahal jelas dia bersalah. "Ya udah. Cepat habiskan. Kita temenin mama."
"Tapi, Anin masih lapal, Paa. Ndak cukup satu lotinyaa... Anin mau dua." Daneen mengacungkan tiga jari tangannya.
"Itu tiga, Nin." Arkan memutar bola matanya.
"Ah, iya. Tida. Anin mo tambah tida lotinya. Enak lotinya."
"Ya ampun, Nin. Itu rotinya udah gede, belum kenyang juga? Di rumah tadi 'kan udah sarapan nasi uduk dua piring. Diet, Nin. Jangan makan mulu. Nanti nggak kuat jalan kayak mama, mau?"
Gadis kecil itu spontan menggeleng. "Anin ndak mau kayak mama. Tapi, tapi... Anin suka makan, Paa." Bibir gadis itu mengerucut. Roti di tangannya yang masih separuh, ditatap sayu. Ia suka makan, tapi ia tak mau seperti mamanya yang tak kuat berjalan. Kata Aa', Daneen itu gendut. Selama ini Daneen tak masalah kakaknya katai seperti apa. Tapi, saat melihat mamanya kian membengkak dan tak kuat berjalan, Daneen jadi takut sendiri.
"Anin ndak mau, Paa..." lirih anak itu dalam kebingungan. Semangatnya untuk melahap roti itu sirna sudah.
"Kalo satu nggak apa-apa. Tapi, jangan dua, tiga, atau empat. Itu kebanyakan. Demikian juga dengan makan nasi. Nggak boleh lebih dari satu piring. Satu piringpun nggak boleh penuh-penuh. Biar badannya nggak bengka kayak mama." Arkan menjelaskan. Ia bahagia karena Daneen sadar akan bahaya dari bertubuh gendut. Sehat, memang. Tapi, jika berat badan itu melebihi batas normal, bisa membawa banyak dampak buruk pada tubuh. Obesitas contohnya.
"Mau nurutin kata Papa?"
Perlahan dan masih dengan keraguan, Daneen mengangguk menyetujui kesepakatan yang ayahnya ajukan. "Anin mau. Tapi, tapi... loti ini boleh Anin abiskan? Nanti kalo ndak abis, Awoh malah. Kata mama tuh, ndak boleh buang makanan."
Arkan tersenyum. "Iya. Yang itu bisa dihabiskan."
Cengiran bahagia itu terpatri jelas di wajah gadis kecil hobi makan tersebut. Di tengah keseruan ayah dan anak itu di kantin rumah sakit, seseorang datang dan menyapa mereka.
"Eh, Arkan? Danin? Kalian ke sini lagi? Siapa lagi yang sakit?"
Seseorang itu adalah Anisa. Teman lama Arkan yang sempat Dhara cemburui itu kembali melihat Arkan dan putrinya di rumah sakit tempatnya bekerja.
"Eh, hai. Iya. Duduk dulu, Nis." Arkan dengan ramah mempersilakan wanita itu duduk bersama mereka. Daneen memberikan lirikan tajam, sebelum melahap rotinya dengan kesal.
"Aku bawa istriku chek up. Dari dulu kami selalu ke rumah sakit ini kalo ada apa-apa. Sekarang, istriku lagi hamil tujuh bulan. Semakin sering mengalami flek. Ini juga dia lagi diperiksa."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kiddos (Tamat)
General FictionBagaimana jika orang pelit dan tak peka seperti Arkan Mikail dihadapkan pada tingkah anak-anaknya dengan karakter yang berbeda? Menjadi orangtua dari dua anak angkat dan satu anak kandung bukanlah sesuatu yang mudah. Merawat satu anak seperti Danee...